Senin, 13 Agustus 2007

PARMALIM

Pargonsi, pemain musik tradisional Batak Toba, merupakan salah satu unsur yang penting dalam upacara-upacara Parmalim, seperti sipahalima, dan sipaha empat.





Bpk. R.M. Naipospos, adalah tokoh Parmalim, yaitu salah satu kepercayaan pada masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara.

Minggu, 05 Agustus 2007

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku bangsa yang keberadaannya tersebar di seluruh wilayah nusantara. Masing-masing suku bangsa ini memiliki adat istiadat dan stuktur sosial yang beragam, dan didalamnya terdapat beberapa komunitas yang menempati satu kesatuan wilayah tertentu, menjalin interaksi sosial yang kuat dan biasanya ada yang memiliki sistem pemerintahan sendiri. Mereka menempati berbagai daerah di Indonesia dengan budaya dan adat istiadatnya yang sangat khas dan unik. Dan komunitas ini biasa disebut dengan “Komunitas Adat”

Komunitas adat merupakan komunitas-komunitas yang masih menggunakan pola-pola kehidupan tersendiri yang didapatkan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Komunitas adat yang merupakan warisan nenek moyang ini menempati suatu wilayah tertentu dan sudah terbentuk jauh sebelumnya dari generasi ke generasi (cultural as heritage), dan juga didalamnya terdapat sistem kepemimpinan (pimpinan tradisional)

Sampai saat ini, keberadaan komunitas adat masih dapat kita temukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, meskipun perkembangan isu-isu perubahan terjadi dalam masyarakat (perkembangan masyarakat sederhana ke masyarakat yang lebih kompleks). Mereka mempertahankan norma-norma, nilai-nilai serta aturan-aturan adat, sebagai pedoman berprilaku dalam segala aspek kehidupannya dengan kadar perubahan yang cukup kecil. Hal ini terjadi karena adanya beberapa persamaan-persamaan dalam tataran yang paling besar sebagai ideologi hidup mereka, seperti sistem kepercayaan dan keyakinan. Juga tidak kalah pentingnya adalah dukungan faktor kesejarahan yang membentuk mereka yang dimulai dari kelompok kecil (band) menjadi komunitas yang terikat akan adat dan kebiasaan yang berlaku bagi kelompok tersebut.

Dalam kehidupan sehari-harinya komunitas adat selalu berpedoman atau mengacu pada sistem keyakinan, aturan-aturan, norma-norma serta petunjuk-petunjuk yang kesemuanya itu muncul secara alamiah atau dibangun oleh komunitas tersebut sebagai kebutuhan dalam kebudayaannya. Oleh karena itu, komunitas adat dalam mengapresiasikan budayanya mengacu pada sistem keyakinan yang dijadikan kebenaran. Dan ini menunjukkan bahwa kepercayaan komunitas adat mempunyai makna yang didalamnya terkandung nilai-nilai budaya yang hierarkinya tinggi sehingga oleh pendukungnya dijadikan salah satu acuan atau pedoman dalam berperilaku.

Sehubungan dengan hal diatas, maka komunitas adat menunjuk pada suatu kumpulan individu dengan beberapa ciri tertentu, yaitu:
1 Adanya kesatuan geneologis
1. Adanya identitas sosial (Bahasa-logat, pakaian, makanan, dsb)
2. Adanya adat istiadat serta sistem norma (apabila dilanggar maka ada sanksi yang berlaku-hukum adat)
3. Adanya lembaga adat
4. Adanya kesatuan wilayah sebagai daerah teritorial (geografis lokalitas/hak ulayat)
5. Adanya desa/kampung adat (Mitologi)
6. Pola tempat tinggal berdasarkan aturan-aturan adat
7. Memiliki aturan-aturan adat baik tertulis maupun tidak tertulis
8. Adanya sistem pimpinan/pimpinan tradisional
9. Adanya potensi untuk interaksi secara kontinuitas
10. Adanya pusat orientasi

Ciri-ciri komunitas diatas tentunya tidak lepas dari pandangan para ahli antropologi mengenai tiga aspek kebudayaan (“tiga wujud kebudayaan” menurut Koentjaraningrat), bahwa kita dapat melihat komunitas adat dari tiga aspek ini, yaitu: (1) Aspek Material, seperti lingkungan, tempat tinggal, peralatan, pakaian dan makanan); (2) Aspek Sosial, seperti ritual/upacara, organisasi adat, kelompok kekerabatan, dan sebagainya; dan (3) Aspek Budaya, seperti pandangan hidup/ajaran-ajaran.

Namun, pada perkembangannya komunitas adat ini kurang mendapat perhatian dan hal ini menyebabkan semakin termajinalkannya peranan dan keberadaan komunitas adat tersebut. Padahal, nilai-nilai budaya dalam komunitas adat ini diyakini telah memainkan peranan strategis dalam membangun keteraturan sosial dalam masyarakat.

Sehubungan dengan hal itu, maka diperlukan adanya pemberdayaan komunitas adat karena diharapkan dapat lebih memajukan dan meningkatkan peranan dari komunitas adat. Selain itu, pemberdayaan ini diharapkan dapat mengembangkan jati diri serta memperkokoh integritas bangsa.

Dalam mencapai harapan tersebut dan agar terdapat arah serta kesamaan dalam melaksanakan tugas dan fungsi maka perlu disusun Pedoman Teknis Pemberdayaan Komunitas Adat.

B. Dasar
Pancasila
Undang-Undang Dasar 1945
GBHN
Tugas Pokok dan Fungsi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

C. Maksud dan Tujuan
Pedoman Teknis Pemberdayaan Komunitas Adat, bertujuan untuk:
Melestarikan, mengembangkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya sebagai warisan budaya bangsa yang sangat bermanfaat untuk mengembangkan jati diri serta memperkokoh integritas bangsa.
Membangun pemahaman masyarakat terhadap keberadaan komunitas adat
Meningkatkan sumber daya komunitas adat dan peransertanya dalam masyarakat dan pembangunan bangsa.

D. Ruang Lingkup
Pedoman teknis pemberdayaan komunitas adat meliputi uraian mengenai eksistensi komunitas adat, upaya-upaya pemberdayaan komunitas adat, dan instansi terkait yang menangani pemberdayaan komunitas adat. Pedoman teknis ini secara khusus ditujukan kepada pembina komunitas adat dan komunitas adat itu sendiri.

E. Pengertian
Pemberdayaan
Pemberdayaan berasal dari kata ‘daya’ yang artinya kekuatan atau kemampuan. Kemampuan yang dimaksud kemampuan untuk melakukan atau mencapai sesuatu, sehingga mempunyai arti yang lebih.
Komunitas adat
Merupakan kesatuan sosial yang menempati suatu daerah/wilayah tertentu, dan berinteraksi secara kontinyu sesuai dengan suatu sistem adat istiadat tertentu. Dan sebagai kesatuan sosial, komunitas adat biasanya masih mempertahankan pola-pola kehidupan lama, tradisi nenek moyang.
Pemberdayaan Komunitas Adat
Merupakan suatu usaha atau cara untuk meningkatkan kemampuan, peran serta dan kemandirian komunitas adat dalam menjalankan nilai-nilai budaya mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


BAB II
EKSISTENSI KOMUNITAS ADAT

A. Sejarah Komunitas Adat

Sejarah komunitas adat seringkali tidak dapat ditelusuri secara diakronik atau dimensi waktu, karena komunitas adat biasanya lahir melalui proses alamiah/natural yang tidak dapat diketahui kapan mulai lahir. Namun komunitas adat dimulai dari adanya kebutuhan sekelompok manusia yang berdiam di suatu tempat akan seperangkat, aturan-aturan, nilai-nilai, norma-norma untuk menjaga keteraturan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, serta mengatur hubungan manusia dengan perangkat kekuasaan yang lebih tinggi atas dirinya yang ditempatkan sebagai penguasa yang paling tinggi.

Aturan-aturan yang diciptakan tersebut terpelihara dan berlaku bagi individu-individu. Dengan adanya proses internalisasi dalam jangka waktu yang cukup lama disertai dengan segala perubahan-perubahannya sesuai dengan konteks kebutuhan manusianya, maka individu-individu menjadi terikat atau mengikat karena aturan-aturan dan norma-norma yang diciptakan tersebut menjadi kebiasaan yang berlaku dalam kelompok atau masyarakat. Aturan-aturan dan norma-norma tersebut menjadi acuan berprilaku dan pedoman dalam pola-pola hubungan dengan alam lingkungan dan penguasa atas manusia atau ‘tuhannya’. Acuan dan pedoman tersebut biasanya tidak terwujud secara literat, tetapi terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga secara alamiah memunculkan pranata-pranata sosial dan yang ditokohkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

Aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai dan sistem kepercayaan dikondisikan oleh masyarakat sebagai pola dalam berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dia menjadi ciri khas masyarakat tersebut sebagai sebuah komunitas yang terikat dengan aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai dan kepercayaannya yang dapat dikatakan sebagai kebiasaan atau adat (custom). Adat ini juga terus mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu. Ada upaya untuk mempertahankan beberapa dari kebiasaan tersebut jika kebiasaan tersebut masih relevan dengan kebutuhan masyarakatnya, namun ada juga kebiasaan tersebut ditinggalkan karena tidak dapat lagi diakomodasi sebagai pola perilaku masyarakatnya. Dengan demikian dari sisi kesejarahan komunitas adat sebenarnya kata kuncinya adalah perubahan.

B. Landasan Hukum Bagi Kedudukan Komunitas Adat
Kedudukan komunitas adat ini tertuang dalam:
1. Pasal 18B ayat 1 & 2 UUD 1945
Pasal 1
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”
Pasal 2
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
2. Penjelasan pasal 18 Bagian II UUD 1945
“Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “zelfbesturende Landschappen” dan Volksgemeenschappen seperi desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa,. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daera-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

3. Pasal 32 ayat 1 UUD 1945
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”

4. Pasal 28 J ayat 3 UUD 1945
Identitas budaya dan hak masyarakat tardisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradadaban”

5. Pasal 3 UU No. 5 tahun 1960, Tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

6. UU no. 5 tahun 1967, Tentang Kehutanan

7. UU no. 5 tahun 1979, Tentang Pemerintahan Desa

8. UU no. 24 Tahun 1992, Tentang Penataan Ruang

9. UU no. 23 Tahun 1997, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

10. UU no. 32 tahun 2004 pasal 2 ayat 9, Tentang Pemerintahan Daerah
Pasal ini menunjukkan kesadaran pemerintah akan posisi strategis yang bisa diisi oleh adat dan lembaga adat dalam penumbuhan keharmonisan kehidupan berbangsa dalam kerangka NKRI

11. Pasal 9 ayat 2 UURI No. 18 Tahun 2004, tentang Undang-undang Perkebunan
“Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.”

12. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5/1999


BAB IV
INSTANSI YANG TERKAIT
DALAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT

A. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Pengelolaan kebudayaan pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, berada dalam lingkungan tugas Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Adapun perincian tugasnya, adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan Kebudayaan Nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa., termasuk komunitas adat dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.
2. Melestarikan nilai-nilai budaya Indonesia sehingga mampu memberikan rujukan system nilai terhadap totalitas perilaku kehiudpan ekonomi, politik, hokum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas berbudaya masyarakat
3. Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya dalam rangka memilah-milah yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan


B. Balai Pelestari Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT)

Balai peletari sejarah dan nilai tradisional merupakan unit pelaksana teknis di lapangan. Adapun tugas BPSNT adalah menjalankan kebijakan teknis Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film dan salah satu tugasnya adalah yang berkaitan dengan pengembangan komunitas adat.


C. Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi, Kabupaten/Kotamadya atau Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi, Kabupaten/Kotamadya ataupun Kantor yang Membidangi Kebudayaan

Seiring dengan otonomi daerah, maka penanganan masalah kebudayaan ada pada subdin kebudayaan kantor dinas pendidikan dan kebudayaan, dinas kebudayaan dan pariwisata atau dinas yang membidangi kebudayaan. Adapun perincian tugas yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut::
1. Mengadakan inventarisasi dan dokumentasi mengenai komunitas adat
2. Melaksanakan pembinaan teknis
3. Mengadakan konsultasi dan memecahkan masalah dengan instansi terkait
4. Meningkatkan sumber daya komunitas adat
5. Mewujudkan apresiasi masyarakat luas terhadap keberadaan komunitas adat
6. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai komunitas adat baik melalui media cetak maupun elektronik.

D. Departemen Dalam Negeri

Tugas pembinaan umum organisasi kemasyarakatan dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri. Adapun rincian tugasnya adalah sebagai berikut:
1. Pembinaan adalah setiap bentuk usaha untuk membimbing, mengayomi dan mendorong organisasi kemasyarakatan ke arah pertumbuhan yang sehat dan mandiri, mampu berperan serta dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan tujuan nasional.
2. Pembinaan umum adalah pembinaan di bidang politik dalam rangka memantapkan kesadaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin persatuan dan kesatuan bangsa, berperanserta secara aktif dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.



E. Departemen Sosial

Berdasarkan pada Keputusan Presiden No. 111/1999 tentang pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil dan Kepmensos No. 06/PEGHUK/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberdayaan KAT. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Departemen Sosial mempunyai tugas untuk pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang dilakukan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat.

F. Departemen Pendidikan Nasional

Berdasarkan pada Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah mempunyai program pemberantasan buta aksara dengan memberikan bantuan pada komunitas adat sebagai pelestari nilai-nilai budaya.

G. Departemen Kehutanan

Departemen Kehutanan sesuai dengan fungsinya untuk menangani hutan, maka mempunyai tugas untuk membangun hutan, yaitu suatu rangkaian usaha yang diarahkan dan direncanakan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya hutan secara maksimal dan lestari. Tujuannya adalah untuk memadukan dan menyeimbangkan manfaat hutan dengan fungsi hutan dalam keharmonisan yang dapat berlangsung secara paripurna. Dalam pengelolaan kini untuk mensejahterakan komunitas adat dan melestarikan hutan, Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan mengenai hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan Negara yang dicadangkan dan ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan memanfaatkan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan pada kesejahteraan masyarakat.. Dengan demikian, masyarakat setempat, baik komunitas adat atau masyarakat lokal lainnya diharapkan mempunyai peluang lebih besar untuk mengakses hutan dan memperoleh manfaat demi kesejahteraannya.

H. Badan Pertanahan Nasional

Sesuai dengan rencana strategi BPN tahun 2007 – 2009, maka BPN mempunyai misi untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari.

I. Kementerian Lingkungan Hidup

Komunitas adat biasanya mempunyai orientasi kosmologi atas alam dan lingkungan, seperti hutan, gunung, mata air, sungai dan sebagainya. Benda-benda tersebut mempunyai makna tersendiri terkait dengan sistem kepercayaannya. Karena alam lingkungan tersebut dipercaya terkait dengan kosmologi, maka ada kecenderungan memeliharanya, sehingga lingkungan tersebut terpelihara dan lestari yang berdampak tidak hanya pada komunitas adat tersebut, tetapi berdampak pada terpertahankannya sumber-sumber yang dibutuhkan manusia.

MONOGRAFI KOMUNITAS ADAT

Heddy Shri Ahimsa-Putra
Antropologi Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada


1. Pengantar

Untuk menyusun sebuah monografi yang hasilnya sebanding dan setara antara peneliti satu dengan yang lain diperlukan sebuah prosedur pengumpulan data dan istrumen penelitian yan sama. Berikut adalah draft instrumen “pedoman p-engumpulan data” untuk digunakan dalam penelitian lapangan.

Komunitas Adat minimal memiliki ciri berikut: (a) berada/tinggal dalam suatu ling-kungan alam (setting) tertentu, sehingga lingkungan juga perlu dideskripsikan; (b) memiliki tempat tinggal tertentu, yang menunjukkan kekhasan komunitas ter-sebut; (c) memiliki peralatan dan pakaian tertentu, yang menunjukkkan kekhasan komunitas tersebut, menunjukkan perbedaan komunitas tersebut dengan komu-nitas yang lain; (d) memiliki berbagai kegiatan atau pola-pola perilaku tertentu; (e) memiliki pengetahuan, ajaran, nilai-nilai tertentu. Pengumpulan data menge-nai komunitas tersebut dapat dilakukan lewat berbagai macam cara.


2. Pedoman Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan meliputi tiga aspek: (a) fisik / lingkungan fisik / bu- daya material; (b) sosial (pola-pola perilaku); (c) budaya (pengetahuan / ide / ni-lai)

a. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat dilakukan melalui: (a) studi pustaka; (b) pengamatan; (c) pengamatan terlibat; (d) wawancara sambil lalu; (e) wawancara mendalam.

Studi pustaka meliputi: (a) membaca arsip-arsip; (b) membaca laporan-laporan pemerintah; laporan-laporan penelitian ilmiah; (c) membaca artikel ilmiah di jur-nal-jurnal; (d) membaca buku-buku.

Pengamatan dapat dilakukan dengan: (a) berjarak, tidak terlibat kegiatan tetapi mengamati kegiatan; (b) pengamatan terlibat, ikut terlibat dalam berbagai kegiat-an, tinggal di lapangan, etc.; (c) tinggal di lapangan selama beberapa waktu.

Wawancara secara (a) sambil lalu, dilakukan di mana saja, mengenai apa saja (pilih yang relevan); (b) mendalam, dengan menggunakan pedoman wawancara ini, dan wawancara dilakukan dengan agak lama.

b. Aspek Fisik / Lingkungan Fisik / Budaya Material

Lingkungan :
- gunung/laut/sungai etc. (yg keramat? penting? nama? perlakuan?)
- hutan/ladang/sawah etc. (yg keramat? penting? nama? perlakuan?)
- pohon/batu/goa/mata air etc. (yg keramat? penting? nama? perlakuan?)
- makam/bangunan (yg keramat? penting? nama? perlakuan?)

Tempat tinggal :
- balai adat (balai komunitas) (letak, arsitektur, fungsi, bahan, pembuatan,dsb)
- kampung (letak, lay out, lingkungan, keadaan, dsb)
- rumah (arsitektur, bahan, jenis, pembuatan, dsb).

Pakaian :
- khusus - utk: rituil, perang, dsb (jenis, pola, bahan, hiasan, pembuatan, dsb)
- sehari-hari (jenis, pola, bahan, hiasan, pembuatan, dsb)

Peralatan :
- pertanian/perikanan/dsb (yg khas, bentuk, bahan, pembuatan, guna,dsb)
- transportasi (yg khas, bentuk, bahan, pembuatan, guna, dsb)
- komunikasi (yg khas, bentuk, bahan, pembuatan, guna, dsb)

Makanan :
- khusus - utk tujuan tertentu (rupa, jenis, bahan, pembuatan, guna, dsb.)
- sehari-hari (rupa, jenis, bahan, pembuatan, guna, dsb.)


b. Aspek Sosial

Kehidupan : - pimpinan (nama, tugas, kegiatan, jabatan2, dsb)
sehari-hari - orang biasa (nama, tugas, kegiatan, jabatan2, dsb)

Rituil/upacara :
- rutin harian (pola; tujuan, tempat; waktu, lama, dsb)
- rutin mingguan (pola; tujuan, tempat; waktu, lama, dsb)
- rutin bulanan (pola; tujuan, tempat; waktu, lama, dsb)
- rutin musiman (pola; tujuan, tempat; waktu, lama, dsb)
- rutin tahunan (pola; tujuan, tempat; waktu, lama, dsb)
- rutin beberapa tahun (pola; tujuan, tempat; waktu, lama, dsb)

Organisasi adat :
- struktur organisasi (pimpinan, wakil, pejabat2 adat, dsb)
- aturan-aturan organisasi (pemilihan, hukuman, kewajiban, hak, dsb)
- kegiatan organisasi (rutin, tidak rutin, fungsi organisasi, dsb)
- nilai-nilai organisasi (ajaran-ajaran, baik dan buruk, dsb)

Kel. kekerabatan :
- kegiatan kelompok (rutin, khusus, dsb))
- rituil kelompok (jenis, waktu, lama, tujuan, dsb.)
- aturan-aturan kelompok (hak, kewajiban, hukuman, dsb)
- nilai-nilai kelompok (ajaran-ajaran, baik, buruk, dsb)

Pernikahan :
- pernikahan yang dilarang (dg siapa saja, hukuman, dsb)
- pernikahan ideal (dg siapa saja, fungsi, dsb)

Rituil Pubertas : - laki-laki (individual/kel? kapan? lama?)
- perempuan (individual/kel? kapan? lama?)

Rituil Kematian : - pimpinan (waktu, lama, tujuan, dsb)
- orang biasa (waktu, lama, tujuan, dsb)
- laki/perempuan (perbedaan? waktu? lama?)
- anak2/dewasa (perbedaan? waktu? lama?)


c. Aspek budaya


Pandangan Hidup/: - hub. manusia dgn
Ajaran-ajaran dunia supernatural
- dg Yang Tertinggi (nama? sifat? ciri? aturan2?)
- dg mahluk halus (nama? sifat? ciri? aturan2?)
- dg roh nenek-moyang (nama? sifat? ciri? aturan2?)

- hub. manusia dgn manusia
- dg tetua adat (nama2? aturan?)
- dg orang tua (nama2? aturan2?)
- dg orang-orang tua (nama2? aturan2?)
- dg kerabat (nama2? aturan2?)
- dg laki/perempuan (aturan2?)
- dg yang lebih muda (aturan2?)

- hub. manusia dgn alam
- dg alam fisik (gunung, laut, sawah, ladang, hutan?)
- dg binatang (binatang2 apa? aturan? hukuman?)
- dg tumbuh2-an (tumbuh2an apa? aturan? hukuman?)

Jumat, 03 Agustus 2007

SUBDIT KEPERCAYAAN KOMUNITAS ADAT

STRUKTUR

Dra. Sisi Maria, Kasubdit Kepercayaan Komunitas Adat
Harun Nur Rasyid, SE, Kasi Komunitas Adat
Yulianus Liembeng M.Si, Kasi Upacara

Staf.
1. Halim
2. Flavianus Dinong
3. Elfarmi S.Pd
4. Lita Rahmiati S.Sos
5. Suhanda

EKSISTENSI RELIGI KOMUNITAS ADAT

Zulyani Hidayah, DR. Antr.[1]


Pendahuluan
Topik “eksistensi kepercayaan komunitas adat di masa kini” yang diajukan panitia menyiratkan bahwa konsep yang dimaksud adalah kepercayaan religius atau pada pokoknya agama dari komunitas-komunitas adat yang ada pada masa kini. Secara epistemologis, nampaknya konsep kepercayaan yang dipakai masih kabur, tidak jelas, tidak definitif. Pada masa kini kata kepercayaan sering muncul dengan definisi yang kurang tajam, khususnya tentang apa yang dimaksud dengan kepercayaan, dan apa yang menyebabkan kepercayaan disamakan dengan sebuah sistem dalam struktur sosial dan budaya; dalam hal apa kepercayaan dapat dikategorikan sebagai sebuah sistem?
Istilah kepercayaan dan sistem kepercayaan telah digunakan sejak lama secara luas dalam kajian-kajian antropologi agama dan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya. Menurut ahli-ahli yang mendalami masalah agama dan kepercayaan, sulit sekali mengkaitkan kepercayaan yang bersifat fenomena psikologis individual dengan pemahaman kelompok atau masyarakat, Karena sebuah sistem budaya baru akan dapat diamati jika berada dalam struktur sosial budaya sebuah kelompok atau masyarakat (Seymor-Smith, 1986:23).
Kepercayaan (Ing. beliefing) atau percaya[2] secara umum dapat diartikan sebagai suatu penerimaan mental terhadap sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran, yang diterima dengan kesadaran yang utuh hingga ke dalam batin, jiwa dan rohani. Kepercayaan biasanya didefinisikan sebagai sebuah pendirian yang kuat atas kebenaran dari pernyataan tentang sesuatu tanpa perlu diverifikasi lagi, karena itu kepercayaan adalah sebuah interpretasi mental yang bersifat subyektif yang berasal dari persepsi-persepsi, kontemplasi atau hasil komunikasi tertentu. Karena sifatnya yang mendasar itu maka kepercayaan selalu menjadi kunci pengakuan dalam setiap proses berpikir, baik secara keagamaan (religious) maupun secara keilmuan (scientific). Kajian ini sendiri dikembangkan dalam pengertian agama, dimana kepercayaan sebagai suatu bagian penting dari dasar-dasar moral dan spiritual – biasanya disebut “keyakinan” (Ing. faith) – yang pada mulanya dikembangkan oleh orang-orang yang mencari dasar-dasar fungsional guna memperkuat struktur sosial (kehidupan pribadi dan kelompok) disertai dengan kemauan yang kuat untuk melestarikan keyakinan tersebut. Umumnya sebuah kepercayaan keagamaan atau keyakinan keagamaan akan diterima semakin kuat apabila keyakinan tersebut telah mengalami berbagai tekanan, memperoleh penjelasan atau karena munculnya berbagai peristiwa yang dianggap sebagai pembenaran, kesaksian atau wahyu (nubuat). [3]
Selanjutnya kepercayaan dalam tulisan ini disebut kepercayaan agama, agama atau religi saja.
Ada beberapa pertanyaan yang menggoda dari topik kajian ini. Pertama, “Apakah religi komunitas-komunitas adat sama dengan apa yang digolongkan oleh para ahli sebagai sistem keyakinan bersahaja (primitive religion)? Tidakkah religi komunitas-komunitas adat di masa kini adalah bagian dari atau merupakan sinkretisasi dari ajaran religi-religi “besar”?[4]
Pertanyaan-pertanyaan di atas patut digarisbawahi, karena komunitas-komunitas adat bukanlah unit-unit sosio-religius yang seragam, tetapi sangat beragam dan memiliki ciri-ciri keaslian dan corak kesinkretisan yang berbeda-beda. Karena itu pula tidak ada data langsung yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kecuali dengan mengaitkannya dengan pemahaman ilmiah yang telah ada tentang agama-agama yang mempunyai banyak ciri sama dengan mereka, yakni agama bersahaja. Pernyataan ini perlu disampaikan, agar pembaca awam tidak beranggapan tulisan ini mereduksi agama komunitas adat, seolah-olah menjadi sistem kepercayaan yang lebih rendah dari pada sistem kepercayaan lain.
Ada pula suatu pertanyaan penting lain yang sering diabaikan orang dalam etnografi tentang suatu agama suatu masyarakat atau kepercayaan dalam sebuah budaya, yaitu: “Apakah penjelasan tentang agama atau kepercayaan komunitas adat tersebut berkenaan dengan masa sekarang atau masa lampau?” Setiap tulisan ilmiah seharusnya ditunjukkan dengan menjelaskan batas-batas keterangan tentang waktu dimana suatu perkara dibicarakan. Apakah dalam konteks kondisi masa kini (sewaktu data terakhir diperoleh oleh penulis), ataukah dalam konteks kondisi masa lampau yang mungkin telah terjadi dan yang pernah dialami oleh saksi mata, atau yang hanya didengar secara berantai dari orang ke orang?. Demikian juga halnya dengan penjelasan tentang agama dari suatu masyarakat atau komunitas adat, tidak dapat dikatakan sepenuhnya dapat mewakili kondisi yang sebenarnya terjadi (kondisi aktual). Mungkin saja yang terekam adalah kondisi ideal menurut tokoh atau narasumber, yang dapat saja berbeda dengan kondisi ideal yang “diharapkan” oleh narasumber yang lain. Seorang peneliti agama sebaiknya berdiri sendiri dengan interpretasi-interpretasinya tanpa memanipulasi data, tapi dengan mengkaitkan pernyataannya dengan konsep-konsep dan teori-teori di bidang disiplin ilmunya.
Agama dan komunitas adat
Agama adalah seperangkat sistem kepercayaan, simbol-simbol dan upacara-upacara yang dipraktekan oleh orang-orang dari sebuah komunitas sosio-religius yang diikat sebagai oleh sebuah pemikiran sakral[5]. Sebagian ahli beranggapan sakralisasi dalam agama lebih penting dari pada Tuhan atau tokoh dewa, karena ada agama-agama yang tidak mengutamakan pemujaan Tuhan atau dewa. Selain itu, berbeda dengan magic yang bersifat individualistis dan intrumentalis, agama lebih bersifat sosio-religius dan simbolis (Gordon Marshall ed. dalam Dictionary of Sociology, 1994).
Konsep ini dengan sendirinya menerima eksistensi agama-agama minoritas atau agama komunitas adat yang bukan bersumber dari ajaran agama-agama besar masa kini, seperti agama-agama yang bersumber dari kepercayaan komunal setempat kepada roh-roh nenek moyang dan pahlawan-pahlawan budaya lokal (animisme) dan kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan gaib yang menggerakkan fenomena-fenomena alam tertentu. Pada banyak sukubangsa di Indonesia, agama-agama asli seperti ini bahkan sering menjadi salah satu identitas etnik mereka, seperti agama Sunda Wiwitan yang menjadi identitas komunitas adat Baduy, agama Langkah lama yang jadi identitas komunitas adat Talang Mamak dan agama Waktu Telu yang jadi identitas komunitas adat Sasak atau agama komunitas adat Tengger sebelum melebur diri menjadi Hindu Dharma.
Dalam ilmu antropologi agama bersahaja (primitive religion) adalah sebutan untuk kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan keagamaan - komunitas adat, masyarakat tradisional, terpencil, dan belum kenal tulis-baca – yang tentu saja tidak ditemukan lagi dalam masyarakat urban dan sophisticated. Tapi, tidak berarti bahwa agama masyarakat sederhana itu tidak kompleks dibandingkan dengan agama masyarakat “maju”. Ada bukti-bukti ilmiah, bahwa agama komunitas adat di Oseania, Amerika dan Afrika Sub-Sahara juga sangat kompleks, mencakup ditil-ditil kecil kehidupan komunitasnya. Agama-agama dari budaya lama (budaya paleolitik, mesolitik dan neolitik) juga tergolong sebagai agama bersahaja (Charles H. Long dalam Primitive Religion: General Information, 2001).
Para ahli antropologi religi sendiri sepakat, bahwa pemahaman paling awal tentang agama diperoleh manusia hasil pengalaman dan ekspresi dari pengalamannya sesuatu yang sakral. Pengalaman sakralisme inilah yang pada awalnya dipandang sebagai model bersahaja dari kesadaran keagamaan manusia, sesuatu yang dianggap yang paling mudah diamati dari agama bersahaja (primitive religion).
Komunitas adat[6] sendiri adalah kesatuan-kesatuan sosial lokal yang masih memiliki identitas kelompok yang padu, mudah dikenali, jelas batas-batasnya dan memiliki latar belakang sejarah budaya yang runtun, dapat ditelusuri melalui tradisi lisannya. Keterpaduan identitas mereka dimungkinkan karena menempati suatu wilayah komunal dan saling terikat dalam hubungan sosial primordialis tertentu, mungkin karena hubungan darah (konsanguinal) maupun karena hubungan perkawinan (affinal). Keterkaitan dengan wilayah komunal dan ikatan kekerabatan berorientasi primordialisme itu menunjukkan bahwa mereka adalah kesatuan sosial teritorial-genealogis (tidak dapat dipisahkan dari daerah dan keluarga asal). Kesatuan sosial itu juga bukan bentukan baru, tetapi merupakan sebuah struktur sosial warisan yang cenderung tertutup melalui pengaktifan (kembali) dan pemujaan terhadap sistem nilai konvensional.
Ciri-ciri agama bersahaja dan ciri-ciri komunitas adat seperti di atas memang cenderung menunjukkan ada korelasi erat antara keduanya, bahwa penjelasan tentang agama komunitas adat dapat dengan mengaitkannya dengan agama bersahaja. Studi tentang agama-agama bersahaja sendiri sebenanya sudah ada sejak berkembangnya minat bangsa-bangsa maju mengenai asal mula budaya dan peradaban manusia. Ilmu etnografi yang kemudian berkembang menjadi antropologi yang lahir sebagai ilmu yang mempelajari asal mula manusia dan budaya bangsa-bangsa lain menggunakan data empiris tentang kepercayaan dan pengamalan agama di luar budaya Eropa untuk memahami asal mula peradaban dan untuk memupuk kebanggaan atas budayanya sendiri. Karena itu studi antropologi tentang agama-agama ikut mempengaruhi pemahaman bangsa-bangsa maju tentang asal mula cara berpikir dan pembentukan kelembagaan sosial umat manusia.
Teori Agama Bersahaja
Kerangka uraian tentang agama bersahaja yang paling sederhana dan sering dijadikan acuan adalah tulisan Charles H. Long (Primitive Religion: General Information, 2001). Menurut Long, teori-teori tentang agama bersahaja bergerak antara dua kutub: antara pandangan intelektualistis dan rasional, dengan pandangan psikologis dan irasional.
Edward B. Tylor (“Primitive Culture”, 1871) dan Sir james Frazer (“Golden Bough”, 1911) memandang agama bersahaja dicirikan oleh keunggulan kepercayaan tentang sihir dan kekuatan gaib, suatu hal yang mereka anggap mewakili cara pikir intelektual dan rasional. Bedanya, menurut Tylor masyarakat bersahaja membuat kesalahan intelektual dengan mengacaukan realitas subyek dan obyek. Mereka percaya roh yang ada dalam makhluk hidup dapat lepas dan dapat berdiri sendiri dengan bentuk bebas. Menurut Tylor, mimpi adalah dasar dari kesalahfahaman antara realitas subyek dan obyek ini. Dalam mimpi seseorang merasa sebagai subyek, pada saat yang sama juga sebagai obyek. Tylor sendiri mendefinisikan agama bersahaja sebagai animisme, suatu kepercayaan tentang keberadaan kekuatan spiritual. Definisi ini menunjukkan interpretasinya bahwa dasar dari agama bersahaja adalah kepercayaan bahwa lepas dan terlepasnya kekuatan spiritual (roh) membentuk suatu realisme suprahuman. Dalam pandangan masyarakat bersahaja keberadaan realisme suprahuman ini sama nyatanya dengan keberadaan dunia fisik.
Interpretasi yang berbeda datang dari pendekatan eksperimental dan psikologikal R.H. Codrington (The Melanesians, 1891) tentang “mana” sebagai suatu kekuatan supernatural atau pengaruh pengalaman oleh masyarakat Melanesia. Hal ini memberi dasar bagi sarjana lain untuk menjelaskan asal-mula agama bersahaja, yang menurut mereka berakar pada pengalaman masyarakat bersahaja tentang dinamika kekuatan alam. Interpretasi paling berpengaruh adalah pendapat Rober R. Marett (The Treshold of Religion, 1914), variasi dari teorinya terlihat dalam karya Lucien Levy-Bruhl (Primitive Mentality, 1924) yang membedakan antara mentalitas logis dengan mentalitas pralogis dalam menganalisa cara berpikir tentang pengalaman; dan tulisan Rudolf Otto yang menjelaskan makna khusus keagamaan dari model kesadaran manusia.
Pendekatan intelektual rasional lain ditunjukkan oleh Emile Durkheim, yang memandang agama sebagai keseluruhan perbuatan pemujaan dan strukturnya, dimana simbol-simbol agama tumbuh sebagai “representasi kolektif” (collective representation) dari kehidupan sosial, dalam hal ini ritus-ritus berfungsi untuk menyatukan individu dengan masyarakatnya. Claude Levi-Strauss (The Savage Mind, 1962) mengembangkan gagasan Durkheim lebih jauh dengan menunjukkan bahwa cara-cara berpikir dan struktur sosial yang diidealkan oleh suatu masyarakat tergambar dalam mitos-mitos dan simbol-simbol. Berangkat dari pendekatan struktural dari ilmu linguistik, dia menyatakan bahwa pemikiran logis manusia tidaklah universal, dan perbedaan cara berpikir manusia bersahaja dengan manusia moderen tidak karena perbedaan logika, tapi karena berbedanya data yang digunakan untuk berlogika.
Pengalaman keagamaan dan ekspresinya
Kedua pendekatan – psikologis atau intelektual – dapat dipakai, dan dapat menjelaskan bahwa pengalaman masyarakat bersahaja tentang dunia berbeda dengan manusia moderen. Mungkin saja ada yang beranggapan bahwa perbedaan ini terjadi karena perbedaan kemampuan intelektual. Levi-Strauss seperti digambarkan di atas, percaya bahwa kemampuan intelektual masyarakat bersahaja setara dengan budaya masyarakat lain dan perbedaan antara kedua cara berpikir ini hanya pada bagaimana memandang sesuatu. Ia beranggapan bahwa pemikiran bersahaja juga pemikiran yang konkrit, dalam arti bahwa cara pikir mereka tentang obyek diekspresikan melalui mitos-mitos[7], ritus-ritus dan sistem kekerabatan yang tertata dalam keteraturan yang rasional.
Mircea Eliade (Australian Religion, 1973) memiliki pandangan yang sama dengan itu. Menurutnya budaya bersahaja jauh lebih terbuka kepada lingkungan alam. Keterbukaan ini memungkinkan mereka memahami alam sebagai realitas yang sakral. Bagi masyarakat bersahaja segala sesuatu dalam dunia dapat memberi pengalaman sakral. Dalam teorinya Eliade berpendapat bahwa pesan sakral adalah suatu pengalaman total yang tidak dapat direduksi secara rasioal, irasional atau psikologis; pengalaman manusia tentang sesuatu yang sakral dapat terkait kepada ketiganya. Cara bagaimana pengalaman itu terintegrasi dan diperolehlah yang menjadi karakter dari kesakralan.
Upacara
Salah satu perilaku keagamaan yang paling banyak mengekspresikan ciri-ciri agama komunitas adat adalah ritus-ritus dan tindakan-tindakan upacara. Bentuk dan fungsi upacara sangat beragam, dapat saja dilakukan untuk menunjukkan pemujaan terhadap YME, untuk mengusir kekuatan jahat, atau untuk menandai suatu perubahan dalam status sosial budaya seseorang atau kelompok. Dalam banyak hal, tetapi tidak semua, pelaksanaan suatu upacara berasal dari atau didukung oleh mitos tertentu.[8]
Umumnya upacara agama (ritual) mengekspresikan transisi-transisi besar dalam hidup manusia: lahir (muncul menjadi ada); akil balig (muncul kesadaran tentang seksual dan status jenis kelamin); perkawinan (diterima sebagai warga dewasa dalam masyarakat); dana mati (kembali ke alam nenek-moyang). Upacara-upacara peralihan (daur hidup) ini berbeda-beda bentuknya, nilai-nilainya dan intensitasnya antara satu budaya dengan budaya lain. Terutama dalam kaitannya dengan pengertian-pengertian dan aspek-aspek lain dalam budaya yang bersangkutan. Beberapa komunitas adat di Indonesia upacara kematian dan upacara pemakaman diselenggarakan secara besar-besaran, seperti pada komunitas adat Toraja, Sumba dan Nias. Mereka memiliki mitos-mitos yang menggambarkan tentang proses perjalanan roh si mati ke dunia atau tempat lain,. Budaya seperti ini hampir tidak atau sedikit sekali mengembanglkan upacara khusus untuk kelahiran.
Hampir semua komunitas adat memberi perhatian besar terhadap masa usia akil balig (pubersitas) dan perkawinan, walaupun ada kecenderungan umum perhatian terhadap upacara akil balig laki-laki lebih besar dari pada masa akil balig perempuan. Semua itu karena akil balig dan perkawinan menyimbolkan beralihnya status sosial-budaya-psikologis seorang manusia dari masa anak-anak ke masa transisi dengan masa dewasa. Di masa ini posisi dan peran seseorang dalam struktur kekerabatan dan komunitinya mulai diperhitungkan. Karena itu pula masa akil balig sering ditandai dengan upacara-upacara dan tindakan-tindakan khusus, seperti upacara sunat (circumcision) pada berbagai komunitas adat lama, seperti orang Talangmamak, Nias, Wana dan Asmat dengan konsep yang berbeda dengan “sunat rasul” dalam agama Islam. Upacara sunatan untuk anak perempuan jarang dilakukan, tapi memang ada pada beberapa masyarakat. Ritus akil balig bagi anak perempuan lebih banyak berhubungan dengan periode menstruasi pertamanya.
Upacara peralihan sering pula dikaitkan dengan peralihan periodik alam. Misalnya ada upacara khusus untuk pergantian tahun, pergantian musim, mengawali musim bertanam, mengakhiri musim panen pada komunitas petani. Berbagai upacara juga dikembangkan dalam kehidupan komunitas pemburu-peramu; mereka percaya bahwa upacara itu akan membuat pemburu lebih “kuat” dan perburuannya lebih berhasil.
Jenis upacara lain adalah yang berhubungan dengan masalah-masalah tidak terduga, seperti perang, kekeringan, bencana alam lain dan kegiatan-kegiatan mendadak. Upacara yang dilaksanakan dalam rangka menghadapi hal-hal darurat ini biasanya dimaksud untuk meredakan “kemarahan” atau hukuman dari kekuatan adikodrati (supernatural) atau Yang Maha Kuasa yang dipercayai sebagai hal yang menyebabkan bencana tersebut, atau untuk mencari tahu apa yang menyebabkan sang adikodrati memberi bencana.
Upacara biasanya adalah kegiatan yang sangat berstruktur. Setiap penyelenggara atau pengikut atau kumpulan pengikut memiliki peran tersendiri didalamnya. Ada upacara yang melibatkan seluruh warga, ada pula yang terbatas hanya untuk kelompok tertentu berdasarkan jenis kelamin, usia dan kedudukan. Tidak heran jika upacara inisiasi untuk laki-laki berbeda peserta dan caranya dengan untuk perempuan; upacara sebelum berburu berbeda dengan upacara sebelum bertani, membangun rumah dan sebagainya. Ada upacara yang hanya boleh diikuti oleh para prajurit, ada pula yang hanya dilakukan oleh para empu pembuat senjata, para dukun dan para pendeta.
Kekuatan adikodrati
Kekuatan adikodrati biasanya dikenali lewat tanda-tanda keberadaannya. Sang Pencipta atau dewa-dewa penguasa sumber-sumber kekuatan alam dianggap berada di tempat-tempat dimana sumber daya alam muncul. Karena alam memiliki struktur sendiri, maka kekuatan adikodrati juga dianggap berstruktur. Ada kekuatan adikodrati yang dianggap paling tinggi dan paling berkuasa, biasanya berada di tempat yang tinggi, karena itu dewa-dewa penguasa dianggap berada di lagit. Langit sebagai wujud ekspresi transenden primordial adalah salah satu contoh bentuk kekuatan dahsyat yang sakral. Dalam pandangan ini dewa-dewa penguasa langit dianggap sangat menentukan kehidupan manusia. Bukankah cahaya matahari, hujan, badai, dan kekeringan merupakan wujud kekuatan gaib yang berasal dari langit?
Kesamaan konsep kekuatan adikodrati penguasa langit pada budaya bersahaja dengan Tuhan tunggal dalam agama Yahudi, Kristen, Islam dan Zoroastrianisme menyebabkan mahasiswa-mahasiswa Barat yang mengkaji agama menyebutnya sebagai “monoteisme bersahaja”. Karena itu pula, agama-agama besar mereka anggap sebagai hasil dari proses devolution of religion (pembalikan proses perkembangan) bukan evolusi dari politeisme menjadi monoteisme. Berbeda dengan anggapan selama ini, bahwa agama-agama besar merupakan hasil dari proses evolusi dari politeisme melalui henoteisme (pengakuan atas keberadaan sejumlah tuhan, tapi ada satu yang dominan) menjadi monoteisme.
Pendukung gagasan monoteisme bersahaja yang paling gigih adalah Wilhelm Schmidt, seorang pendeta katolik Roma dari Austria yang juga seorang ahli etnologi. Dalam pandangannya bentuk sakral paling awal berasal dari langit – sang pencipta yang menguasai langit luas. Pengakuan dan pemujaan terhadap Tuhan Langit itu memudar dan akhirnya menghilang seiring dengan perhatian manusia terhadap dewa-dewa yang kurang berkuasa (tapi lebih sering tampil dalam dinamika kehidupan sehari-hari manusia). Namun kemudian, melalui sejarah budaya yang panjang Tuhan tunggal yang maha pencipta kembali diingat dan dipuja orang dalam agama-agama monoteisme. Akan tetapi, cara berpikir seperti ini ditolak oleh para sarjana masa kini, karena bercorak “evolusi unilineal”.
Berkaitan dengan Tuhan Langit ada pula kepercayaan terhadap kekuatan tuhan-dewa yang diwujudkan oleh matahari dan bulan. Simbolisme matahari sebagai kekuatan transenden langit sering lebih dekat dengan kehidupan komunitas manusia yang menganggap matahari sebagai kekuatan paling rasional dalam mengatur kehidupan. Dewa-dewa matahari adalah pencipta dengan kekuatan penumbuhnya – menghasilkan kekuatan. Dewa Langit sering pula dianggap sebagai pencipta ex nihilo (“out of nothing”), sudah selesai; mereka tidak memerlukan manusia sebagai perantara dalam penciptaan, dan cenderung dianggap sudah mengundurkan diri dan sedikit sekali campur tangan kepada kehidupan manusia.
Manifestasi dan kehadiran dewa bulan berbeda dari dewa matahari. Dewa-dewa bulan diasosiasikan dengan suatu struktur yang lebih berirama; mereka lebih lentur dan rapuh, kelihatan lebih goyah dan lebih mudah menghilang dan timbul. Dewa bulan sering kali dipersepsikan sebagai wanita dan dihubungan dengan sifat-sifat wanita. Dewi-dewi bulan adalah turunan kehidupan yang rapuh, berbeda dengan dewa-dewa matahari, keberadaannya bukanlah keberadaan dalam sejarah kekuasaan dan kekuatan, tapi adalah simbol dari daur hidup manusia: lahir, hidup dan mati. Tempat-tempat lain dimana dewa-dewi dianggap mewujudkan diri adalah pada benda-benda alam seperti sungai, air terjun, tumbuh-tumbuhan, tanaman pokok, batu, seksualitas manusia dan sebagainya.
Pola kedewaan atau ketuhanan juga beragam sesuai dengan bentuk dan jenis masyarakat pendukungnya. Pada budaya berburu-beramu misalnya, tidak hanya ada bahasa dan upacacara khusus untuk berburu dan beramu, tapi biasanya juga ada Pemilik, Penjaga, Tuan atau Induk dari hewan dan tanaman tertentu – yaitu yang menciptakan, melindungi, dan menyediakan hewan dan tanaman tersebut untuk pemburu-peramu. Agama seperti ini masih terdapat di pelosok-pelosok dunia, seperti pada, sukubangsa Siberut di Kepulauan Mentawai, Talang Mamak dan Anak Dalam di pedalaman Sumatera, beberapa sukubangsa Dayak di pedalaman Kalimantan, sukubangsa Asmat di Papua dan pada komunitas-komunitas adat terpencil lain.
Agama komunitas adat yang lebih kompleks dapat ditemukan pada masyarakat petani tradisional. Sering kali dianggap bahwa budaya petani kuno berhubungan erat dengan ritus feminimisme dan pengkhususan peran perempuan. Hal ini berarti bahwa pemberian dan kekuatan pertanian menyediakan sebuah wadah dimana kesakralan dunia dapat diekspresikan dalam feminiminitas umat manusia. Upacara-upacara pertanian menjadi sebuah bahasa simbolik yang amat kuat menyuarakan gestasi, kelahiran, nurture dan kematian. Perkembangan seperti ini tidak berarti bahwa matriarkhi dan perempuan mendominasi masyarakat. Dalam masyarakat petani laki-laki mendominasi urusan-urusan secara konvensional, tetapi kekuatan perempuan selalu lebih ril dan potensial.
Dalam beberapa budaya di Afrika Barat ada tiga lapisan makna sosial budaya yang memberi bentuk. Pertama, mengacu kepada budaya pertanian kuno dimana kekuasaan dan simbolisme feminim lebih dominan. Kedua, dimana upacara-upacara dan hak-hak pertanian digambarkan dalam bahasa dan simbol-simbol maskulin. Sebaliknya, penggunaan simbol dan bahasa feminim dan maskulin digunakan secara bersama-sama pada lapisan ketiga. Pada masa kini lapisan tertua dapat diolihat pada konsep Ibu Suri (queen Mother) yang diyakini sebagai “pemilik tanah-air”; lapisan kedua nampak dalam sistem kerajaan; dan lapisan ketiga terlihat dalam mitos-mitos yang diasosiasikan dengan silmbolisasi telur. Yang pada tingkat kosmologis berarti sebuah kecenderungan perubahan seksual secara harmonis.
Sakralisasi personifikasi
Di dalam agama bersahaja kesakralan cenderung terbentuk secara alamiah, akan tetapi makna sakral juga dapat didefinisikan oleh segolongan orang-orang tertentu, seperti oleh pendeta atau pemimpin suatu agama. Pada sisi lain, kesakralan dapat pula dilokalisasi dan didefinisikan oleh sekumpulan orang atau sekelompok pemilik status dalam komunitas, seperti oleh pemimpin atau kaum penguasa. Warga biasanya menurut apa yang ditetapkan sebagai sesuatu yang sakral oleh syaman atau pemimpin agama. Misalnya oleh Puhun (Baduy), Sikerei (Siberut), atau Kementan (Talangmamak). Pada kasus-kasus tertentu peranan dan fungsi raja atau pemimpin dianggap sebagai penentu kesakralan karena mereka sering disamakan sebagai titisan atau tiruan dari sang pencipta. Penyamaan status sakral dengan dewa tersebut ditanamkan melalui penuturan mitos-mitos, sehingga dapat berkelanjutan secara turun temurun.
Sebaliknya, ada pula bentuk sakral individual yang dianggap melekat pada pribadi-pribadi yang memiliki tanda-tanda atau “panggilan-panggilan” tertentu (Jawa: wangsit). Orang-orang seperti shaman termasuk ke dalam kategori ini. Shaman direkrut dari sejumlah orang muda yang dianggap memiliki tanda-tanda psikologis tertentu yang menunjukkan kesiapan mereka untuk masuk ke dalam kompleksitas dunia sakral. Begitu terpilih, shaman harus mengukiti serangkaian upacara inisiasi khusus dan diajar berbagai cara pengobatan dan perilaku sakralistis oleh shaman-shaman yang lebih tua. Karena berhubungan dengan pekerjaan sakral, maka setiap shaman harus melalui perjalanan pengalaman melatih diri yang panjang sebelum boleh melakukan praktek sendiri. Sama halnya dengan keberadaan seorang dukun atau peramal, hanya saja kedudukan ini sering diturunkan secara generatif.
Agama Komunitas Adat dan Pengakuan Negara
Konstitusi kita mengatur pengakuan sekaligus jaminan dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan mendasar untuk memeluk agama dan kepercayaan dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD.[9] Pasal tersebut sangat krusial, tidak heran jika dalam beberapa kali proses amandemen Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak melakukan perubahan apapun terhadap pasal tersebut. Namun demikian, prinsip kebebasan memeluk agama dan kepercayaan itu belakangan ini dibatasi hanya pada 6 (enam) agama resmi (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu) yang diakui oleh negara, seperti terlihat dalam RUU Administrasi Kependudukan. Padahal, selain agama-agama yang “diresmikan” tersebut banyak lagi agama dan aliran kepercayaan lainnya yang dianut oleh penduduk Indonesia.
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan diundangkan dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2005, mengatur dalam Pasal 18, bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dihalangi untuk menyatakan keyakinan nya pada suatu agama atau kepercayaan. Dalam Laporan Tahun 2004 United Nations Special Rapporteur on Freedom of Religion or Belief, juga ditegaskan bahwa pencantuman agama dalam kartu identitas penduduk adalah tidak sesuai dengan prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinan yang telah diakui dan dilindungi oleh masyarakat internasional.
Sebenarnya RUU Adminduk diharapkan dapat mengakhiri problem diskriminasi agama dan kepercayaan di Indonesia. Namun, substansi dari materi RUU Adminduk cenderung bertentangan dengan kaidah penyusunan peraturan perundangan, khususnya asas nondiskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender. Dengan demikian, legislasi ini justru akan melanggengkan praktek diskriminasi.
Dalam penyusunan kebijakan administrasi kependudukan, terdapat setidaknya 3 (tiga) pilihan. Pertama, sebagaimana yang terumus dalam RUU Adminduk, yaitu hanya membatasi pilihan pada 6 agama resmi. Kedua, mencatatkan apapun agama dan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia, tanpa terkecuali. Pilihan ini adil dan mengandaikan adanya kesetaraan di antara pemeluk agama dan penghayat kepercayaan yang berbeda-beda. Opsi ketiga, yaitu menghapuskan kolom agama di dokumen-dokumen kependukan.
Banyak negara menghapuskan kolom agama dan kepercayaan dalam kartu identitas kependudukan. Negara-negara yang tercatat sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, bahkan beberapa negara Islam sekalipun, dalam prakteknya tidak mewajibkan adanya afiliasi pada satu agama dan kepercayaan, atau malah tidak mengharuskan pencantuman keyakinan dalam kartu tanda identitas penduduknya. Diantara negara-negara tersebut adalah Aljazair, Bahrain, Iraq, Kuwait, Mauritania, Oman, Qatar, Sudan, Tunisia, Arab Emirat. Mereka tetap dapat membereskan problem administrasi kependudukan tanpa perlu mengambil resiko besar dengan mencantumkan kolom identitas agama dan kepercayaan.
Di Indonesia, pihak-pihak yang bersikeras menginginkan pencantuman identitas 6 agama resmi (minus kepercayaan) berargumen bahwa itu adalah cara yang paling efektif untuk menghindari kesalahan-kesalahan administratif. Ilustrasi yang biasa mereka kemukakan adalah: seandainya terdapat mayat yang tidak dikenal, maka identitas agama di KTP dapat dipakai sebagai petunjuk sehingga ia akan dapat dimakamkan sesuai dengan agamanya. Argumen semacam ini merupakan simplifikasi dari penyelesaian masalah, tanpa memperhitungkan potensi permasalahan lain yang akan timbul karena solusi itu. Pilihan nya, menguburkan mayat secara benar berdasarkan agama dalam KTP atau membiarkan penduduk tak bersalah menjadi mayat korban konflik akibat identitas agama dalam KTP?
Kesimpulan
Unsur pokok yang mendasari bentuk-bentuk, fungsi-fungsi, upacara-upacara, personifikasi dan simbol-simbol dalam agama komunitas adat adalah dikotomi antara sakral dan profan. Sakral menunjuk dunia realitas, sebagai basis bagi seluruh bentuk makna dan perilaku dalam masyarakat. Profan sebagai lawan dari sakral, tidak dijadikan basis bagi struktur dan perilaku warga komunitas. Sungguhpun keduanya memperlihatkan sebuah model eksistensi dan model quasi reality (seolah-olah ada, pura-pura), realitas tersebut tidaklah berdasarkan pada sebuah model keagamaan, tidak pula sebagai sebuah prinsip aturan bagi kegiatan-kegiatan atau makna-makna. Sebagai contoh, makna ruang pada sebuah desa bersahaja diletakkan sesuai model keagamaan yang menunjukkan realitas sakral. Sedangkan ruang di luar ruang-ruang terorganisir dalam desa dipandang sebagai ruang profan, karena tidak teratur, dan karena itu pula tidak termasuk ke dalam makna keagamaan mereka. Yang jelas, perbedaan antara sifat sakral dan profan ada pada setiap tingkat komunitas adat.
Sungguhpun struktur agama dibangun secara sakral kemasyarakatan, akan tetapi kesadaran agama sangat bersifat pribadi, terkait dengan pengalaman dan pemahaman seseorang dalam menghayati keyakinan, melaksanakan ritus-ritus (upacara-upacara) dan mengaktifkan simbol-simbol keagamaannya. Hal-hal seperti ini merupakan substansi pokok baik dalam agama-agama “besar” maupun dalam agama-agama komunitas adat atau agama bersahaja umumnya. Pada masa kini keberagaman latar belakang asal-usul, sosial-budaya, pendidikan, sejarah dan lingkungan menyebabkan agama-agama memiliki corak, tidak terkecuali agama-agama komunitas adat.
Perkembangan agama-agama besar yang cenderung lebih terstruktur, makin lama makin lebih bersifat monoteis, dan dapat melintasi berbagai ragam budaya, tidak menjadikan agama-agama komunitas adat punah. Sebaliknya, nampak ada korelasi erat antara kemampuan survival komunitas adat dengan sistem keyakinan dan perangkat keagamaan (upacara dan simbol-simbol) mereka. Sungguhpun tidak semua komunitas adat memiliki agama komunal sebagai identitas diri – banyak komunitas adat yang sudah memeluk agama resmi – namun pada sebagian dari mereka agama komunal tersebut menjadi salah satu identitas kelompok sekaligus sebagai pemberi batas lingkup sosial-budaya.
Sementara itu, ciri-ciri kebersahajaan juga tidak sepenuhnya lagi melekat pada sebagian dari komunitas adat. Identitas sebagai komunitas adat dan penganut agama komunal tidak selamanya disertai dengan ketakmampuan literal. Banyak bukti bahwa penganut agama bersahaja juga mencakup kaum intelektual, sarjana dalam bidang ilmu moderen tertentu. Karena itu kemajemukan bangsa Indonesia bukan saja terungkap dari budaya-budaya tangible, tapi juga dari beragamnya budaya intangible, seperti sistem religi dan pengetahuan tradisional dan kearifan lingkungannya.

Jakarta, 22 Juni 2007
[1] Staf Departemen Kebudayaan dan Pariwisata aktif di Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
[2] Dari sisi pengetahuan, kepercayaan atas sebuah pernyataan tentang sesuatu yang dipahami atau diketahui dapat bersifat rasional maupun irasional. Dalam sains (ilmu pengetahuan) kepercayaan atas sebuah pernyataan tentang sesuatu itu bersifat rasional, dan harus dibuktikan dengan kenyataan-kenyataan, pembuktian-pembuktian empirik, dan argumentasi-argumentasi logis. Sedangkan dalam sistem kepercayaan spiritual sebuah pernyataan mengenai sesuatu cenderung bersifat irasional karena mengacu kepada bukti-bukti tak-teraba (intangible). Karena kepercayaan spiritual lebih banyak menggunakan bukti-bukti intangible maka lebih banyak pula menggunakan nilai-nilai budaya inti (culture core value) sebagai penjaga keutuhan dan kesinambungan kepercayaan itu sendiri.
[3] Sistem kepercayaan atau keyakinan secara khusus selalu dijaga dan dipelihara karena menjadi inti dari kepercayaan atau agama itu sendiri. Didalamnya terkandung konsep-konsep tentang baik dan buruk, sakral dan profan, pencipta dan tercipta, dunia nyata dan dunia gaib, hidup dan mati, nyawa dan roh dan sebagainya.
[4] Yaitu agama-agama dominan dan memiliki banyak pengikut diberbagai belahan dunia, seperti Protestan, Katholik, Islam, Hindu, Budha dlll.
[5] Dalam ilmu antropologi, setiap kepercayaan atau keyakinan yang berdasarkan suatu getaran jiwa atau emosi spiritual yang dalam terhadap sesuatu sehingga dianggap sakral disebut agama. Dalam agama, dikhotomi antara sesuatu yang tergolong sakral dan yang tergolong profan sangat ditekankan sebagai pemberi “arah”, dan untuk memelihara emosi spiritual tersebut. Dengan mengadopsi penjelasan Koentjaraningrat (Pengantar Ilmu Antropologi, 1989), maka setiap aspek keagamaan atau kepercayaan spiritual selain memiliki emosi juga memiliki paling tidak tiga unsur lain, yaitu: (1) sistem kepercayaan atau keyakinan, (2) sistem upacara dan pengamalan kepercayaan, (3) suatu umat atau kelompok yang menganut kepercayaan tersebut.
[6] Departemen Sosial menggunakan istilah “komunitas adat terpencil” untuk mengganti istilah “masyarakat terasing” untuk kelompok masyarakat yang tidak atau sedikit sekali memiliki akses transportasi, komunikasi dan tidak ada atau sedikit sekali mendapat sentuhan pembangunan nasional . Pada masa kini, komunitas adat sendiri cenderung digunakan sebagai padanan bagi kata indigenous people yang dilansir oleh badan-badan dunia (UNESCO, UNICEF, ILO). Sementara itu sebgian kalangan LSM sejak dekade lalu menggunakan kata masyarakat adat sebagai padanan indigenous people.
[7] Mitos adalah pengintegrasian simbol-simbol keagamaan ke dalam bentuk narasi. Mitos tidak hanya mengandung pandangan komprehensif tentang dunia, tapi juga menyediakan alat untuk memahami dunia. Sungguhpun mitos sering menjadi pemberi alasan bagi ritus-ritus, akan tetapi bagi masyarakat bersahaja sebenarnya adalah model-model perwjudan cara berpikir tentang kesakralan yang berdiri sendiri .
[8] Sistem upacara dan pelaksanaan ajaran religi (amalan) setidak-tidaknya mencakup enam aspek yang perlu diamati, yaitu: (i) tempat, (ii) waktu, (iii) perlengkapan, (iv) orang-orang yang melakukannya, (v) prosesi dan (vi) syarat-syarat pelaksanaannya.
[9] "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 29 Ayat 2)

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT DAN

B. Blawing Belareq
Komunitas Adat Dayak Bahau Borneo


1. Pendahuluan
Pulau Kalimantan, satu dari sejumlah pulau terbesar dunia terbagi dalam 3 wilayah negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Pemerintah negara Indonesia kemudian membagi wilayahnya di pulau ini ke dalam empat wilayah yaitu Kalimantan Timur, Tengah, Selatan, dan Kalimantan Barat.
Pulau Kalimantan dihuni oleh beberapa etnis bangsa yang sejak dahulu telah tinggal dan berkembang di sana. Sebelum terbentuknya NKRI, terdapat beberapa kerajaan/kesultanan, dan komunitas etnis yang dikategorikan sebagai penduduk asli pulau Kalimantan. Kerajaan/kesultanan dan komunitas tersebut antara lain: Banjar, Kutai, Bulungan, Melayu, dan Dayak dengan ratusan sub etniknya. Kemudian setelah era NKRI dengan program transmigrasi maka semakin banyak etnik yang datang dan tinggal di Kalimantan.
Dengan heterogenitas yang terjadi, maka beragam budaya pun masuk ke Kalimantan dan berinteraksi dengan kebudayaan setempat. Sebuah komunitas pada umumnya memiliki aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai tertentu, baik yang berkaitan dengan religi, sosial, dan hukum. Dan terkadang aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai tertentu berbeda dengan yang dimiliki komunitas lain, dan pertemuan keduanya dalam kehidupan berbangsa sangat memungkinkan untuk terjadinya konflik. Untuk itu perlu digali kembali segala persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai tersebut.

2. Ruang Lingkup
Saya membatasi ruang lingkup pembahasan kita pada Kominitas Adat Dayak Bahau di provinsi Kalimantan Timur.

3. Masyarakat Adat Dayak Bahau
a. Sejarah Singkat
Dayak merupakan salah satu etnis mayoritas yang mendiami pulau Kalimantan. Nama ”Dayak” sebenarnya adalah sebutan orang Belanda kepada suku-suku yang tinggal di pedalaman Kalimantan yang artinya ”orang udik atau orang ulu”.
Bahau adalah satu dari banyak sub etnik Dayak yang ada di Kalimantan Timur, yang merupakan sub dari Dayak Apo Kayaan. Dayak Bahau sendiri terbagi lagi dalam sub yang lebih kecil dan memiliki dialek yang berbeda. Sebagai contoh sub Dayak Bahau yaitu Umaa’ Suling, Bahau Sa’, Bahau Busaang, Umaa’ Tuaan dan masih ada lagi. Atau lebih jelasnya adalah seperti di gambarkan di bawah ini.
DAYAK DI
KALIMANTAN
TIMUR
PUNAN
TUNJUNG -BENUAQ
APO KAYAAN
KENNYAH
SUB INDUK LAINNYA
KAYAAN MEDALAAM
KAYAAN MEKAAM
Tinggal di Kalimantan Barat
KAYAAN MEKAAM
LUNG GELAAT
BAHAU
KAYAAN
UMAA’ SULING
BAHAU BUSAANG
BAHAU SA’
UMAA’ TUAAN, dan sub lain yang lebih kecil jumlahnya
PENIHING / AOHENG
Masyarakat Dayak Bahau ini sebagian besar tinggal di sepanjang sungai Mahakam (Mekaam) terutama di daerah kabupaten Kutai Barat, dan beberapa kelompok di bagian utara Kaltim.
Sebelum tinggal di daerah sungai Mahakam, suku Bahau bermukim di Apo Kayaan bersama-sama dengan kelompok suku yang lain. Apo Kayaan adalah daerah dataran tinggi yang terletak di daerah Kabupaten Malinau. Pada abad ke-17 terjadi perpindahan dalam kelompok besar ke arah Barat. Dalam perjalanan kelompok ini terbagi menjadi dua pada peristiwa Mutat Ji’it. Akibatnya kelompok pertama meneruskan perjalanan ke Barat dan kelompok kedua mengambil jalan memutar dan akhirnya ke arah Selatan.
Kelompok yang ke arah Barat akhirnya menetap di Kapuas bagian hulu yaitu di daerah Medalaam, Kalimantan Barat; sehingga disebut Kayaan Medalaam. Sedangkan kelompok yang ke Selatan akhirnya menetap di Mahakam, yaitu mulai dari ulu sungai Mahakam sampai bagian tengah; di daerah Tering. Sekarang termasuk dalam wilayah kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sehingga disebut juga Kayaan Mekaam.
Sekarang orang Bahau tinggal menetap di sepanjang sungai Mahakam dan menjadi salah satu sub Dayak terbesar di Kaltim di samping Tunjung-Benuaq, Punan, Modang.

b. Kondisi Kehidupan Masyarakat Bahau
Orang Bahau sebagian besar tinggal di sepanjang sungai Mahakam mulai dari ulu sampai bagian tengah yang terbagi dalam 5 kecamatan dengan puluhan kampung.
Masyarakat Bahau hidup dalam nuansa tradisi yang kental, meski cukup sulit dikatakan demikian pada generasi mudanya; akan tetapi budaya tradisi leluhur masih bertahan. Gotong royong dan kekeluargaan menjadi cara yang ideal dalam menghadapi permasalahan sehari-hari.
Mata pencaharian orang Bahau adalah sebagai peladang, pencari hasil hutan, pedagang, dan pegawai negeri. Dalam banyak hal, orang Bahau masih teringgal.
i. Dari segi perekonomian masih belum maju benar akibat sulitnya akses dalam mencapai daerah tempat tinggal mereka. Jalur transportasi yang digunakan adalah jalur sungai dan udara. Sampai sekarang masih belum ada jalan darat yang mencapai daerah ini.
ii. Dari segi kesehatan, fasilitas kesehatan yang ada hanya puskesemas dan balai pengobatan dengan tenaga dokter yang sangat minim. Rumah sakit hanya terdapat di Tering, yang merupakan kampung paling hilir yang paling dekat dengan ibu kota kabupaten di mana dapat juga dicapai dengan jalan darat.
iii. Dari segi pendidikan, sekolah yang sudah ada adalah dari tingkat Sekolah Dasar sampai SLTP. Terdapat juga SMU tetapi hanya di beberapa kampung ibukota kecamatan saja. Biasanya setelah lulus SLTP siswa melanjutkan ke SMU di ibu kota kabupaten atau provinsi. Tenaga pengajar pun masih minim, baik kuantitas mau pun kualitas.
c. Kondisi Alam
Sebagian besar alam sekitar masih berupa hutan belantara yang cukup lestari. Hal ini karena wilayah kampung merupakan wilayah adat yang pemanfaatannya harus dengan seizin masyarakat setempat. Namun sekarang sedikit demi sedikit mulai terambah akibat operasi perusahaan kayu dan tambang yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Beberapa tahun terakhir sering terjadi bencana banjir yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan menelan korban jiwa. Dan agaknya jika dilihat selayang pandang sebagai akibat dari berkurangnya pohon kayu sebagai penahan air. Sedangkan jika tidak turun hujan dalam sepekan maka air sungai akan surut hingga sulit dilayari, sementara untuk menjangkau kampung-kampung di bagian hulu hanya mengandalkan sarana angkutan air.
Sungai Mahakam juga sudah mengalami pendangkalan, sehingga sangat menyulitkan transportasi pada musim kemarau.
Selebihnya masih tersimpan hutan belantara yang cukup luas yang merupakan tanah adat yang dilindungi hukum adat (tanaa’ peraa’).
4. Ideologi dasar Masyarakat Adat Bahau
Masyarakat Dayak Bahau selalu berusaha hidup dalam keselarasan, baik dengan alam, sesama, mau pun dengan Tuhan. Oleh sebab itu upacara-upacara adat kehidupan lebih mendapat perhatian dan masih tetap dilaksanakan sampai sekarang. Beberapa contoh upacara adat dalam rangka menjaga keselarasan kehidupan antara lain:
a. Upacara Adat Ngaping Tanaa’, Mela Tanaa’, dan Nyelung Tanaa’
Upacara Adat Ngaping Tanaa’ dan Mela Tanaa’ merupakan upacara untuk menyapu segala hal yang tidak baik dari tanah (lahan) yang hendak digarap atau dimanfaatkan untuk keperluah hidup seperti membuka ladang atau kebun.
Upacara Nyelung Tanaa’ merupakan upacara untuk memohon izin membuka lahan hutan untuk keperluan hidup seperti membuka ladang, atau kebun. Orang Bahau percaya bahwa setiap tempat ada pemiliknya dan setiap pohon dan hewan memiliki roh, atau ada roh yang mengatur atau memiliki mereka. Sehingga pemanfaatannya harus dengan seizin roh tersebut. Dengan nyelung tanaa’ tanah yang tidak baik sekali pun disucikan dan menjadi berkat atas keluarga yang tinggal dan berusaha di atasnya.
b. Upacara Adat Dangai
Upacara Adat Dangai merupakan kumpulan berbagai upacara adat kehidupan seperti upacara adat untuk pemberian nama anak, upacara anak remaja yang beranjak dewasa, upacara perkawinan dan upacara bagi kampung baru. Upacara adat ini penting karena merupakan perlambang penyerahan hidup kepada kehendak Ame Tinge (Ame=Bapak; Tinge=Berkuasa; Bapak yang Maha Kuasa).
¬ Dangai Anaak : adalah upacara mengukuhkan atau meresmikan nama seorang anak.
¬ Dangai Kadaan : adalah upacara mengukuhkan atau meresmikan seseorang boleh memakai pakaian adat yang bernilai sakral.
¬ Dangai Hawa’ : adalah upacara mengukuhkan atau meresmikan adat pernikahan sebuah pasangan suami istri yang sudah menikah sebelumnya tetapi belum melalui upacara adat Dangai.
¬ Dangai Umaa’ : adalah upacara atas kampung baru apa bila menempati wilayah baru setelah pindah dari kampung yang lama.


c. Upacara Adat Kayo
Adat Kayo adalah upacara adat pengucapan rasa syukur atas kemenangan atau keberhasilan mengatasi tantangan hidup. Adat Kayo ini hanya khusus bagi kaum laki-laki saja dan seluruh prosesnya dilaksanakan oleh laki-laki. Dengan maksud untuk mengangkat harkat seorang laki-laki menjadi seorang ksatria dalam kehidupan.
Dalam upacara adat ini dijalin komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan roh-roh kebaikan, dengan tanpa mengabaikan keberadaan roh-roh ganas.
d. Upacara Adat Hudo’
Hudo’ adalah upacara adat yang dilaksanakan pada musim tanam padi/musim menugal. Hudo’ dipercaya sebagai utusan Ine Aya’ Apo Lagaan (Ibu Para Dewa Apo Lagaan) untuk datang menolong manusia. Mereka datang dalam rupa hudo’ (berarti: kedok atau topeng) agar manusia tidak parit (kualat) dan mati jika menyaksikan secara langsung kemuliaan dan ke-dewa-an mereka. Dengan membawa roh-roh padi, roh pepohonan, roh buah-buahan, roh kebijaksanaan, dan dengan hudo’-nya mengusir segala roh jahat yang menindas dan merugikan manusia.
e. Upacara Adat Pate
Adat Pate adalah upacara adat kematian. Melalui upacara ini roh orang yang sudah meninggal diantarkan kepada para leluhur. Orang Bahau percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, dan berlangsung sama seperti di kehidupan fana. Hanya bedanya kehidupan baka itu abadi dan tidak berkesusahan.
f. Upacara-upacara adat lainnya.
Terdapat juga upacara-upacara lain seperti:
¬ Adat Abe
Adat Abe adalah upacara adat buang sial. Upacara ini dilaksanakan setiap tahun. Hal-hal yang dianggap membawa sial bagi banyak orang dihapus dan dibuang dengan upacara ini. Karena masyarakat Dayak khususnya Bahau mempercayai bahwa perbuatan-perbuatan aib dan terlarang dapat membawa sial dan malapetaka bagi seisi kampung, seperti misalnya: wanita hamil tanpa suami, terjadi perkawinan antar saudara yang masih memiliki hubungan darah/saudara dekat, perselingkuhan, dan sebagainya.
Segala keperluan dan biaya pelaksanaan upacara ini akan dibebankan kepada pelaku yang membuat upacara ini harus dilaksanakan.
¬ Adat Tutung
Upacara adat Tutung adalah adat buang busung. Upacara ini dilakukan apabila terjadi kejadian kematian seseorang yang tidak wajar seperti dibunuh, mengalami kecelakaan fatal, tenggelam, tersambar petir, perang, dan sebagainya. Tujuannya untuk membakar habis hal buruk tersebut hingga tidak terulang kembali.
¬ Adat Seluloong
Adat Seluloong adalah adat perdamaian. Upacara ini dilakukan jika terjadi pertikaian dan permusuhan atau bahkan peperangan. Kedua belah pihak akan dipertemukan dalam upacara adat ini dan dilakukan perjanjian damai.

5. Kepemimpinan Tradisional
Sebelum terbentuk membahas kepemimpinan tradisional, ada baiknya sedikit mengupas tentang klasifikasi sosial masyarakat adat Dayak Bahau.
Klasifikasi sosial dalam masyarakat Bahau membedakan kelas sosial, hak-hak, kewajiban, dan peranan dalam tatanan adat masyarakat. Strukturnya relatif sama dengan Dayak yang lain pada umumnya, yang berbeda hanya dari segi bahasa atau penyebutannya. Yaitu golongan hipui (raja), pegawaa’ (punggawa/panglima), panyin (rakyat), dan dipan (hamba/budak).
Golongan hipui adalah raja dan segenap keluarga dan keturunannya, yang mana menjadi pemimpin suku secara keseluruhan. Juga berperan sebagai pemimpin dalam tatanan adat di masyarakat.
Golongan pegawaa’ adalah para punggawa dan panglima perang dengan segenap keluarga dan keturunannya. Mereka inilah yang menjadi tangan kanan para hipui. Dan para pria dari golongan ini biasanya merupakan petarung yang tangguh dan pemimpin pasukan yang berani.
Golongan panyin adalah golongan rakyat biasa. Mereka biasanya terdiri dari peladang, pemburu, pandai besi, pengrajin, penenun, nelayan, pedagang, atau pengumpul hasil hutan.
Golongan dipan adalah golongan hamba atau budak. Mereka menempati kelas sosial paling bawah dan jumlahnya pun tidak banyak. Mereka menjadi hamba bagi hipui atau pegawaa’ dan tidak digaji. Biasanya mereka berasal dari suku yang kalah berperang dan ditawan. Tak jarang mereka adalah keturunan raja-raja yang berhasil dikalahkan yang kemudian ditawan dan dijadikan hamba atau budak.
DIPAN

.

PEGAWAA’

PANYIN

Dahulu, klasifikasi ini berlaku dengan tegas. Namun sekarang tidak begitu diperhatikan lagi, dan baru akan nampak pada saat berlangsungnya upacara-upacara adat; dan pada perkawinan.
Sekarang kepala kampung atau petinggi kampung tidak lagi harus dari golongan hipui tetapi melalui pemilihan umum secara demokratis. Tetapi kepala kampung ini hanya sebatas pemerintahan kampung yang bersifat birokratis. Sementara hukum tetap dipegang oleh hipui. Hipui secara kelembagaan menjabat sebagai kepala adat. Mengapa kepala adat harus dari golongan hipui adalah karena pemimpin dalam upacara adat harus golongan hipui.

6. Lembaga Adat
Lembaga Adat di kalangan Dayak Bahau lebih merupakan pelembagaan atau pengorganisasian tugas dalam kepemimpinan tradisional. Karena tugas yang diembannya tidak hanya terbatas pada pelaksanaan adat tradisi atau upacara adat tetapi juga melingkupi berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Lembaga Adat di setiap suku dan atau setiap kampung berdiri otonom dengan tidak terikat atau dibawah komando lembaga atau organisasi tertentu. Namun kendati demikian terdapat Lembaga Adat di tingkat kabupaten berbentuk Presidium Dewan Adat Kabupaten yang terdiri atas Ketua Presidium, Sekretaris, dan Staf-staf. Masa jabatannya selama 3 tahun.
Selain itu terdapat Lembaga Adat Besar yang juga bersifat lembaga presidium di mana lembaga ini berdiri otonom namun memiliki hubungan komunikasi dan koordinasi dengan Lembaga Adat Kampung dan Presidium Dewan Adat Kabupaten. Secara organisasi terdiri dari Kepala Adat Besar, Sekretaris, dan 3 orang staff.

Kepala Adat Kampung
Anggota
Anggota
Anggota
Sekretaris

Kepala Adat Besar
Anggota
Anggota
Anggota
Sekretaris

Ketua Presidium Dewan Adat Kabupaten
Staf
Staf
Staf
Sekretaris
Pemerintah daerah kabupaten memberikan perhatian yang cukup baik terhadap keberadaan lembaga-lembaga ini. Oleh sebab itu sudah sejak lama pemerintah memberikan tunjangan kepada siapa pun yang menjabat jabatan-jabatan tersebut di atas.



7. Hukum Adat
Hukum adat yang berlaku dalam masyarakat adat Dayak Bahau tetap berpegang pada hukum adat warisan leluhur. Dan hukum ini diwariskan secara turun temurun secara lisan dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Hukum adat ini antara lain mengatur masalah kriminal dan instabilitas di masyarakat, masalah perkawinan, masalah warisan, tanah/lahan, harta, wilayah, ekonomi, dan religi. Maka jenis atau bentuk hukum yang diberlakukan sesuai dengan kasus yang sedang dihadapi.

8. Hak Ulayat.
Permasalahan hak ulayat di kalangan masyarakat adat Dayak Bahau sebenarnya belum ada kesepahaman sampai sekarang. Demikian juga halnya dengan pemerintah, memiliki interpretasi berbeda dengan masyarakat. Ketidaksepahaman ini dapat dipahami karena istilah hak ulayat bukan berasal dari Kalimantan dan tidak pernah digunakan sebelumnya.
Masyarakat Dayak Bahau tidak pernah membuat pembagian yang mana merupakan hak ulayat dan yang mana hak negara, karena yang ada adalah hak masyarakat.
Jika yang dimaksud dengan hak ulayat adalah hak adat, maka hak ulayat bagi orang Bahau adalah semua hak yang dimiliki dan diwarisi sejak zaman para leluhur.
Dengan asumsi bahwa hak ulayat adalah hak adat, maka mari kita bahas sedikit tentang hak ulayat dalam pandangan Dayak Bahau.
Suku Dayak Bahau membuat aturan yang berlaku sebagai hukum adat berkaitan dengan lahan dengan membaginya menjadi 3 (tiga) yaitu:
a. Tanaa Peraa’
Tanaa’ Peraa’ adalah lahan hutan yang tidak boleh digarap untuk keperluan apa pun. Karena daerah ini adalah daerah simpanan kayu untuk kebutuhan rumah, perahu dan berbagai keperluan rumah tangga segenap masyarakat. Daerah ini juga menjadi kawasan sumber obat-obatan, daging, rotan, buah-buahan, untuk menunjang kesejahteraan hidup masyarakat sekitarnya.



b. Lep’un
Adalah kawasan perputaran ladang. Orang Bahau membuat ladang dengan sistem rotasi, yaitu membuka ladang pada suatu kawasan kemudian berpindah ke kawasan lain dan membiarkan lahan yang lama ”memulihkan diri kembali”. Lalu beberapa tahun kemudian kembali lagi ke lahan semula. Demikian terus berlangsung pada tempat-tempat yang sama, tetapi tetap memberikan kesempatan bagi alam untuk memulihkan dirinya sendiri.
c. Wilayah kampung
Wilayah kampung adalah wilayah kekuasaan yang dimiliki suatu suku yang menempati wilayah tertentu. Berbeda dengan wilayah yang ditetapkan pemerintah di mana wilayah kampung adalah wilayah rencana pengembangan kampung yang melingkupi daerah sekitar kampung saja. Wilayah kampung bagi orang Bahau adalah segenap wilayah yang dimiliki seluruh isi kampung di mana termasuk wilayah tanaa’ peraa’ dan wilayah lep’un.

9. Penutup
Demikianlah uraian singkat berkaitan dengan Komunitas Adat, Hukum Adat, dan Hak Ulayat dari sudut pandang Suku Dayak Bahau. Saya mengharapkan uraian singkat ini dapat memancing rasa ingin tahu kita semua untuk dapat tertuang dalam diskusi yang hidup, baik di tempat ini mau pun dalam setiap kesempatan yang ada. Manusia ada lemahnya
Mohon maaf bila salah kata
Janganlah dipendam rasa
Kita semua bersaudara.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.







CURRICULUM VITAE


NAMA : B. Blawing Belareq
TEMPAT/TGL LAHIR : Kampung Long Tuyoq, 25 September 1944
ALAMAT : Jl. Siti Aisyah No. 70 RT. 16 RW. 07 Kel. Teluk Lerong Ilir, Samarinda. Kalimantan Timur
NO TELP/FAX/HP/E-MAIL : R (0541) 738674 / - / 085250689311/ liah_terasbnd@yahoo.co.id
PENDIDIKAN TERAKHIR : SR IV Th. Tahun 1956
PEKERJAAN : Wiraswasta
PENGALAMAN : Di Bidang Adat Suku Dayak Bahau (Kayaan):
- Kepala Kampung Long Tuyoq tahun 1976 s/d 1999
- Kepala Adat Besar Kecamatan Long Pahangai tahun 1991 sampai sekarang

Perempuan dan Pengelolaan sumber daya alam

Ibu Rukmini. P. Toheke
Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT)

Dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro maupun yang dilaksanakan secara individu oleh Ibu Rukmini melakukan pendokumentasian peran perempuan pada masa lampau dalam pengelolaan sumber daya alam meliputi :

1. Pendokumentasian Peran perempuan yang meliputi :
a. Status sosial
Yang dilakukan secara individu dalam mendorong peningkatan status sosial perempuan adat adalah, mendokumentasikan peran perempuan adat yang berhubungan dengan kehidupan perempuan adat dalam masyarakat, dan telah terjadi perubahan yang signifikan untuk kehidupan kaum perempuan adat yang ada di Ngata Toro, walaupun ini harus dilalui dengan tahapan proses diskusi yang panjang. Status sosial perempuan pada masa lalu yang bisa mempengaruhi kebijakan ditingakat lembaga adat yang umumnya didominasi oleh laki-laki adalah konsep Tina ngata (ibu kampung) yang mana konsep ini mau tidak mau lembaga adat harus mengakui dan mengangkat perempuan menjadi mitra kerjanya untuk mengurus masyarakat dan alam sekitarnya.

b. Hak dan Wewenang
Sepanjang pegertian hak dan wewenang itu hanya rapi dalam tulisan maka sampai kapan pun perempuan adat tidak akan mencicipi kedaulatan hak dan wewenag, makanya lewat diskusi yang panjang yang dilakukan oleh Organisasi perempuan adat Ngata Toro dan memberikan pemahaman kepada lembaga adat dan pemerintah ngata maka kaum perempuan adat ada pengakuan hak dan wewenangnya untuk hidup bermasyarakat.

c. Akses dan kontrol
Kaum perempuan adat yang ada di Ngata Toro sebelumnya hanya sebagai penonton yang abadi dalam Pengelolaan sumber Daya Alam karena yang terjadi dalam pertemuan sebelum mendapatkan pengakuan dari tingkat komunitas dan Lembaga terkait dalam Ngata, semua porsi untuk mengambil keputusan sama sekali tidak melibatkan kaum perempuan karena kelembagaan adat dominan kaum laki-laki.
Setelah deklarasi pengakuan atas organisasi perempuan adat maka perencanaan, pengelolaan dan pengawasan sumber daya alam itu sudah menjadi tanggungg jawab bersama termasuk kelompok perempuan adat.

2. Proses pembuatan kain dari Kulit kayu,
Kegiatan ini dilakukan untuk mendokumentasikan kembali bagaimana proses pembuatan hingga menjadi sebuah kain yang dipakai dalam acara adat, dalam pembuatan kerajinan ini banyak dilakukan oleh perempuan.
Tujuan mendokumentasikan proses ini adalah untuk menjadikan bahan pembelajaran kepada generasi muda baik di Ngata toro maupun dikomunitas lain yang memiliki potensi alam yang sama untuk dikembangkan.

3. Pendokumentasian Obat Tradisional
Berangkat dari pengalaman yang ada dimasyarakat, ternyata alam telah menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, seperti tumbuhan yang dapat menyembuhkan penyakit yang diderita baik manusia maupun hewan.
Dalam mengumpulkan data yang ada dimasyarakat sesuai hasil riset yang dilakukan ternyata yang banyak memiliki pengetahuan dalam obat tradisional adalah perempuan, dan dari hasil pendokumentasian obat dan fungsinya, berhasil didokumentasi tanaman yang bisa dijadikan obat sebanyak 103 jenis tanaman

4. . Pola pertanian ramah lingkungan
Kegiatan ini kami lakukan berdasarkan hasil wawancara dengan orang- tua yang masih mengetahui sistem bercocok tanam tanpa menggunakan pestisida dan herbisida,
Pola bertani yang dilaksanakan oleh perempuan dalam bertani adalah menggunakan bahan-bahan yang ada disekitar mereka untuk dijadikan Micro Organisme Lokal (MOL) maupun pembuatan pupuk kompos. Selain itu pengetahuan perempuan adat ngata toro terhadap ilmu perbintangan sangatlah membantu untuk keberhasilan dalam bertani
Ilmu pertanian ramah lingkungan yang ditekuni oleh perempuan toro kemudian didokumentasikan oleh Organisasi perempuan adat ngata toro dan dijadikan modul pelatihan penyebaran kekomunitas lain yang ada diluar ngata toro

5. Konseling
Kegiatan ini mulai berjalan sejak tahun 2001 sejak adanya pengakuan kelompok perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, peran Tina Ngata yang direvitalisasi kembali adalah dalam melayani kaum perempuan yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga dan pembagiaan harta warisan yang tidak sesuai dengan haknya, maka orgaisasi perempuan adat menangani hingga adanya keadilan buat kaum perempuan.

Mulai tahun 2005 Organisasi perempuan adat ngata toro mulai mendokumentasikan segala proses kegiatannya dalam bentuk audio visual. (film) Tujuan dari kegiatan ini agar kegiatan yang dilaksanakan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat adat ngata toro dan juga masyarakat diluar ngata toro yang membutuhan informasi yang sama.
Dengan adanya perjuangan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan yang ada dingata toro, maka segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh pmerintah ngata maupun pemerintah kecamatan selalu melibatkan organisasi perempuan adat baik urusan dalam masyarakat mauun kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Perizinan pengolahan kayu untuk bangunan rumah dingata toro ditanda tangani 3 lembaga yaitu : pemerintah ngata, lembaga adat dan organisasi perempuan adat.

Usif (raja)

Usif adalah raja dari komunitas adat 'bikomi" maslete di Kecamatan Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Usif sampai saat ini masih dipertahankan keberadaaannya oleh komunitas adat tersebut, dan ia masih menempati istana yang disebut dengan Sonaf.


kato


Kato adalah isteri dari usif (raja) di komunitas adat 'bikomi' Maslete, kecamatan Kefamenanu kabupaten TTU, NTT

haumonef

haumonef adalah tiang penyembahan

WAWASAN NUSANTARA

Sri Hastanto



Konsep Wawasan Nusantara
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah Negara adalah wilayah kedaulatan, disamping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah Negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Juanda 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional. Sebagai contoh Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: “Brittain rules the waves”. Ini berarti tanah Inggris tidak hanya sebatas pulaunya, tetapi juga termasuk lautnya. Tetapi banyak juga Negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti Tahiland, Prancis, Myanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya disebut dengan wawasan nusantara yang biasa disingkat dengan wasantara.
Wasantara ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang sarwa nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungannya yang sarwa nusantara itu. Unsur-unsur dasar wawasan nusantara itu ialah: wadah (contour organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wawantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang :
(1) satu kesatuan wilayah;
(2) satu kesatuan bangsa;
(3) satu kesatuan budaya;
(4) satu kesatuan ekonomi; dan
(5) satu kesatuan hankam;
Jelaslah disini bahwa wasantara adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan wasantara akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan jaman. Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang meningkat dalam ‘koridor’ wawasan nusantara.
Konsep Geopolitik dan Geostrategis
Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang dua pertiga wilayahnya adalah laut yang membentang ke Utara dengan pusatnya di Pulau Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu kesatuan Negara kepulauan, secara konseptual geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut dengan wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas dan aktif. Sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep ketahanan nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideology, politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan.
Dengan mengacu kepada kondisi geografi bercirikan maritime, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritime sejalan dengan doktrin pertahanan defensive aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritime aalah mewujudkan kekuatan maritime (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman. Jadi factor keamanan (pertahanan) sangatlah penting, karena pertahanan aman, maka factor-faktor lain juga dapat kita amankan.
Nusantara (archipelago) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut. Laut yang menghubungkan dan mempersatukan [pulau-pulau yang tersebar di seantero khatulistiwa. Sedangkan wawasan nusantara adalah konsep politik Indonesia memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya dan udara di atasnya yang tidak dapat terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan Negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, social budaya, dan hankam (IPOLEKSOSBUDHANKAM). Wawasan nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan dalam GBHN dengan Tap MPR No. IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan konsepsi Negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak Deklarasi Juanda.
Wawasan Nusantara dan Pembangunan Kebudayaan
Seperti telah disinggung di atas, bahwa yang termasuk di dalam wawasan nusantara adalah aspek social budaya. Meskipun secara kenyataan kebudayaan Indonesia beragam (lebih 600 suku bangsa), tetapi secara geoplitik dan geostrategis kebudayaan yang beragam tersebut disebut dengan kebudayaan Indonesia atau kebudayaan nusantara. Tetapi jika kita membangun sebuah pertanyaan, apakah ada kebudayaan Indonesia itu? Maka jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bisa ‘ada’ dan bisa ‘tidak’. Mengapa? Karena kebudayaan Indonesia sebenarnya lebih ditekankan kepada unsur kemajemukan. Secara geopolitik memang kita memahami dan sadar sebagai satu kesatuan kebudayaan Indonesia, tetapi dalam prakteknya kita tidak bisa memungkiri bahwa kita adalah berbeda atau aneka ragam dalam budaya. Pemahaman yang baik terhadap geopolitik dan geostrategis ini sangat penting artinya di dalam pembangunan kebudayaan Indonesia. Karena keanekaragaman itu tidak hanya sebagai asset atau kekayaan, tetapi juga sekaligus seabgai tantangan ke arah mana pembangunan kebudayaan kita agar dapat dengan tepat. Berkaitan dengan itu, maka dalam hal ini pembangunan yang akan saya soroti dalah poembangunan kebudayaan Indonesia terkait dengan globalisasi yang tidak terhindarkan. Persentuhan dengan budaya asing membuat konsep kebudayaan kita menjadi berubah dan perlu didefenisikan kembali agar dalam pembangunan kebudayaan itu kita tidak terkotak-kota hanya dalam bentuk yang kasat mata belaka, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu terhadap pembangunan moral, akhlak, sistem nilai dan sebagainya.
Khususnya dalam hal pengembangan budaya, kita perlu menyikapi secara pro-aktif dan secara kritis fenomena sejarah kontemporer yang sangat besar dampaknya ialah globalisasi. Asosiasi globalisasi dewasa ini mau tidak mau berlangsung dengan revolusi teknologi komunikasi. Juga dengan ekonomi global yang ditandai dengan luas dan instensifnya peredaran pasar uang antar negara. Masih juga berasosiasi dengan ilmu pengetahuan, teknologi, industri dan perdagangan. Kebudayaan dalam hal ini sangat erat terkait dengan peran ekonomi pasar, jaringan serta pelaku bisnis. Ekonomi pasar yang disebut dengan neoliberal ini juga harus kita pahami benar-benar dalam rangka membangun kebudayaan bangsa kita. Karena perekonomian suatu negara, sangat terkait dengan arah dan atau penciptaan kebudayaan masyarakatnya.
Adalah benar, globalisasi membangkitkan pengaruh dan akibat besar. Acap kali dramatis. Salah satu misalnya aksi kekerasan teror, maraknya gaya hidup serba tanda dan gaya. Pola hidup konsumtif, fenomena mall dan aneka macamkesempatan dan lompatan sukses serba cepat. Ini semua berdampak terhadap kebudayaan kita. Globalisasi membawa kemajuan dan kemakmuran, namun menurut kenyataannya, terlepas dari factor-faktor latar belakang dan penyebabnya, globaslisasi juga mengakibatkan kesenjangan kehidupan warga dunia yang bertambah.
Ada gejala baru kemiskinan, marjinalisasi dan ketinggalan semakin jauh, baik dalam bidang ekonomi, social dan budaya. Bagaimana kita bisa membaca dan menyikapinya ? Jika budaya kita kehilangan jati diri sebagai Indonesia harus kah kita menyalahkan siapa ? Tepat benar jika kita melemparkan tanggung jawab dan kesalahan pada pihak sana, pihak luar. Seperti dulu kebodohan kita salahkan akibat kolonialisme, dependence dan rasisme. Akan tetapi belajar dari pengalaman kemarin, tidaklah cukup dan tidak pula menyelesaikan persoalan kita jika kita hanya mengambil skap menyalahkan pihak asing sebagai perusak budaya kita. Kita harus mengambil pemahaman dan sikap lain. Upaya kita dalam membangun kebudayaan Indonesia yang dirancang secara sadar -a creation by design and not by default- untuk mengatasi berbagai persoalan yang kita hadapi sekarang ini merupakan satu hal yang tidak boleh terabaikan. Jalan keluar dari tatanan global tidak cukup hanya dengan upaya mengubah struktur tatanan dunia. Hal itu harus dibarengi oleh satu usaha bersama untuk memperbaiki kemampuan yang ada dalam diri kita sendiri, dan oleh karenanya kebudayaan menjadi satu hal yang sangat sentral sifatnya.
Culture matters dalam membangun kebudayaan Indonesia yang dibangun secara sadar – by design not by default- memperbaiki kemampuan yang ada dalam diri kita dan oleh karenanya kebudayaan menjadi satu hal yang sangat sentral yang diletakkan dalam konteks reformasi, maka kita perlu mencari cultural map to recovery. Disertai dengan kerangka yang lebih komprihensif. Pengalaman empiris memberi pelajaran dan pengalaman. Sebagai contoh misalnya Korea Selatan dan Ghana, negara yang sedang berkembang di tahun 1960-an setingkat ekonominya, kini kondisi ekonominya berbeda, Korea Selatan menjadi salah satu raksasa dalam perekonomian dan kebudayaan. Demikian juga dengan negara Jepang, mereka maju dalam perekonomian, tetapi juga tetap dapat mempertahankan budaya mereka secara ‘benar’ dan ‘tepat’. Mengapa, padahal jika dilihat dari segi alamnya tidak jauh berbeda. Memang tidaklah terbatas pada satu factor saja, bahkan satu, dua atau tiga factor. Lingkungan domestik maupun regional tidak mungkin tanpa perbedaan. Terkait dengan itu masalah lingkungan domestik maupun regional Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wawasan nusantaranya, bagaimana kita mengambangkan kebudayaan kita? Pembangunan apakah yang penting dilakukan? Tangible – intangible? Kita perlu kembali melihat ke dalam dan berpusat pada nilai-nilai dan sikap cultural.
Kebudayaan mencakup suatu pemahaman komprehensif yang sekaligus bisa diurai dan dilihat beragam variable dan cara memahaminya. Kebudayaan dalam arti suatu pendangan yang menyeluruh menyangkut pendangan hidup, sikap dan nilai. Atau menurut deskripsi Raymond Williams, “General state or habit of the mind, general state of intellectual development in a society or a whole” . Kita perlu membahas pembangunan kebudayaan Indonesia dikaitkan dengan upaya memperbaiki kemampuan. Kemampuan untuk apa? Untuk recovery, bangkit dari serba krisis dan kritis. Bangkit untuk memperbaiki kehidupan bersama. Bangkit untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, yakni kebebasan, keadilan, solidaritas dan pemenuhan hak-hak sipil sebagai warga negara yang sama di depan hukum. Ini artinya kebudayaan berperan untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia, khususnya Indonesia. Kemajuan ini misalnya di bidang kehidupan seperti ekonomi, social, politik, hak asasi, kemanusiaan. Atau bilai kita kaitkan dengan geopolitik dan geostrategis tersebut, maka kebudayaan saling mendukung atau terkait secara holisme antara unsur-unsur yang ada dalam wawasan nusantar tersebut, yaitu ideology, politik, ekonomi, social budaya, dan hankam.
Ketika kebudayaan dihubungkan dengan kinerja dan prestasi kemajuan bangsa-bangsa, maka biasanya tolok ukurnya adalah kemajuan ekonomi. Apabila kita kaji dengan faham Max Weber tentang Protestant Ethics and Rise of Capitalism, dibandingkan dengan mazab lain Calvinisme lebih mendorong kemajuan ekonomi. Mengapa mendorong kerja keras, kejujuran, kesungguhan, kesadaran dalam menggunakan waktu dan uang. Coba kita lihat bagaimana sekarang kebudayaan kita, jika kita lihat dari sisi kerja keras, kejujuran, kesungguhan, kesadaran dalam menggunakan waktu dan uang, kebersamaan, solidaritas social dan sebagainya. Jika kita beri nilai dengan angka 0 –10, pada level berapakah masing-masing nilai kita terhadap kategori-kategori tersebut?
Mengutip apa yang ditulis oleh Jakop Oetama, ialah orientasi akan masa depan kebudayaan kita adalah perlunya memupuk pola pikir antara lain adalah, bekerja adalah sentral untuk hidup baik, diperlukan frugality, hemat, pendidikan syarat kemajuan, jasa (merit) sebagai penopang kemajuan, diperlukan kepercayaan yang melebihi lingkungan keluarga. Kode etik yang keras diperlukan untuk melawan korupsi yang merajalela di semua sector. Perlunya keadilan dan fair play yang universal dan impersonal. Kekuasan agar lebih horizontal dan tidak terekonsentrasi. Bagaimana memperolehnya? Saya teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Romo Mudji Soetrisno dalam Dialog Seratus di Bandung tahun 2002, yaitu pendidikan ditempatkan pada posisi dan peran yang menentukan. Tersangkut di dalamnya pendidikan karakter, budi pekerti, kepribadian, etika, pengetahuan kognitif, komunikasi, ilmu dan keahlian, kompetensi cultural dan nilai-nilai rohani (spiritual quotient).
Banyak hal yang memang harus kita pertimbangkan dan benahi dalam pembangunan kebudayaan Indonesia. Justru itu sangat dibutuhkan upaya-upaya yang sifatnya menyentuh dan tepat. Hal ini tidak dapat dikerjakan oleh satu pihak saja, tetapi harus dimulai dari diri sendiri dan di semua lini dan semua sector. Harus dijalin kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan demikian cara pandang kita terhadap kebudayaan bangsa kita yang pada dasarnya berbeda-beda itu benar-benar lebih kearah kekayaan kebudayaan kita dan sekaligus sebagai kekuatan.

* Disampaikan dalam Kegiatan Pendidikan Anak Alam Nusantara di Tegal, 29-31 Desember 2006, di Padepokan Wulan Tumanggal, Dukuh Tengah, Kec. Bojong, Kabupaten Tegal.