Zulyani Hidayah, DR. Antr.[1]
Pendahuluan
Topik “eksistensi kepercayaan komunitas adat di masa kini” yang diajukan panitia menyiratkan bahwa konsep yang dimaksud adalah kepercayaan religius atau pada pokoknya agama dari komunitas-komunitas adat yang ada pada masa kini. Secara epistemologis, nampaknya konsep kepercayaan yang dipakai masih kabur, tidak jelas, tidak definitif. Pada masa kini kata kepercayaan sering muncul dengan definisi yang kurang tajam, khususnya tentang apa yang dimaksud dengan kepercayaan, dan apa yang menyebabkan kepercayaan disamakan dengan sebuah sistem dalam struktur sosial dan budaya; dalam hal apa kepercayaan dapat dikategorikan sebagai sebuah sistem?
Istilah kepercayaan dan sistem kepercayaan telah digunakan sejak lama secara luas dalam kajian-kajian antropologi agama dan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya. Menurut ahli-ahli yang mendalami masalah agama dan kepercayaan, sulit sekali mengkaitkan kepercayaan yang bersifat fenomena psikologis individual dengan pemahaman kelompok atau masyarakat, Karena sebuah sistem budaya baru akan dapat diamati jika berada dalam struktur sosial budaya sebuah kelompok atau masyarakat (Seymor-Smith, 1986:23).
Kepercayaan (Ing. beliefing) atau percaya[2] secara umum dapat diartikan sebagai suatu penerimaan mental terhadap sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran, yang diterima dengan kesadaran yang utuh hingga ke dalam batin, jiwa dan rohani. Kepercayaan biasanya didefinisikan sebagai sebuah pendirian yang kuat atas kebenaran dari pernyataan tentang sesuatu tanpa perlu diverifikasi lagi, karena itu kepercayaan adalah sebuah interpretasi mental yang bersifat subyektif yang berasal dari persepsi-persepsi, kontemplasi atau hasil komunikasi tertentu. Karena sifatnya yang mendasar itu maka kepercayaan selalu menjadi kunci pengakuan dalam setiap proses berpikir, baik secara keagamaan (religious) maupun secara keilmuan (scientific). Kajian ini sendiri dikembangkan dalam pengertian agama, dimana kepercayaan sebagai suatu bagian penting dari dasar-dasar moral dan spiritual – biasanya disebut “keyakinan” (Ing. faith) – yang pada mulanya dikembangkan oleh orang-orang yang mencari dasar-dasar fungsional guna memperkuat struktur sosial (kehidupan pribadi dan kelompok) disertai dengan kemauan yang kuat untuk melestarikan keyakinan tersebut. Umumnya sebuah kepercayaan keagamaan atau keyakinan keagamaan akan diterima semakin kuat apabila keyakinan tersebut telah mengalami berbagai tekanan, memperoleh penjelasan atau karena munculnya berbagai peristiwa yang dianggap sebagai pembenaran, kesaksian atau wahyu (nubuat). [3]
Selanjutnya kepercayaan dalam tulisan ini disebut kepercayaan agama, agama atau religi saja.
Ada beberapa pertanyaan yang menggoda dari topik kajian ini. Pertama, “Apakah religi komunitas-komunitas adat sama dengan apa yang digolongkan oleh para ahli sebagai sistem keyakinan bersahaja (primitive religion)? Tidakkah religi komunitas-komunitas adat di masa kini adalah bagian dari atau merupakan sinkretisasi dari ajaran religi-religi “besar”?[4]
Pertanyaan-pertanyaan di atas patut digarisbawahi, karena komunitas-komunitas adat bukanlah unit-unit sosio-religius yang seragam, tetapi sangat beragam dan memiliki ciri-ciri keaslian dan corak kesinkretisan yang berbeda-beda. Karena itu pula tidak ada data langsung yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kecuali dengan mengaitkannya dengan pemahaman ilmiah yang telah ada tentang agama-agama yang mempunyai banyak ciri sama dengan mereka, yakni agama bersahaja. Pernyataan ini perlu disampaikan, agar pembaca awam tidak beranggapan tulisan ini mereduksi agama komunitas adat, seolah-olah menjadi sistem kepercayaan yang lebih rendah dari pada sistem kepercayaan lain.
Ada pula suatu pertanyaan penting lain yang sering diabaikan orang dalam etnografi tentang suatu agama suatu masyarakat atau kepercayaan dalam sebuah budaya, yaitu: “Apakah penjelasan tentang agama atau kepercayaan komunitas adat tersebut berkenaan dengan masa sekarang atau masa lampau?” Setiap tulisan ilmiah seharusnya ditunjukkan dengan menjelaskan batas-batas keterangan tentang waktu dimana suatu perkara dibicarakan. Apakah dalam konteks kondisi masa kini (sewaktu data terakhir diperoleh oleh penulis), ataukah dalam konteks kondisi masa lampau yang mungkin telah terjadi dan yang pernah dialami oleh saksi mata, atau yang hanya didengar secara berantai dari orang ke orang?. Demikian juga halnya dengan penjelasan tentang agama dari suatu masyarakat atau komunitas adat, tidak dapat dikatakan sepenuhnya dapat mewakili kondisi yang sebenarnya terjadi (kondisi aktual). Mungkin saja yang terekam adalah kondisi ideal menurut tokoh atau narasumber, yang dapat saja berbeda dengan kondisi ideal yang “diharapkan” oleh narasumber yang lain. Seorang peneliti agama sebaiknya berdiri sendiri dengan interpretasi-interpretasinya tanpa memanipulasi data, tapi dengan mengkaitkan pernyataannya dengan konsep-konsep dan teori-teori di bidang disiplin ilmunya.
Agama dan komunitas adat
Agama adalah seperangkat sistem kepercayaan, simbol-simbol dan upacara-upacara yang dipraktekan oleh orang-orang dari sebuah komunitas sosio-religius yang diikat sebagai oleh sebuah pemikiran sakral[5]. Sebagian ahli beranggapan sakralisasi dalam agama lebih penting dari pada Tuhan atau tokoh dewa, karena ada agama-agama yang tidak mengutamakan pemujaan Tuhan atau dewa. Selain itu, berbeda dengan magic yang bersifat individualistis dan intrumentalis, agama lebih bersifat sosio-religius dan simbolis (Gordon Marshall ed. dalam Dictionary of Sociology, 1994).
Konsep ini dengan sendirinya menerima eksistensi agama-agama minoritas atau agama komunitas adat yang bukan bersumber dari ajaran agama-agama besar masa kini, seperti agama-agama yang bersumber dari kepercayaan komunal setempat kepada roh-roh nenek moyang dan pahlawan-pahlawan budaya lokal (animisme) dan kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan gaib yang menggerakkan fenomena-fenomena alam tertentu. Pada banyak sukubangsa di Indonesia, agama-agama asli seperti ini bahkan sering menjadi salah satu identitas etnik mereka, seperti agama Sunda Wiwitan yang menjadi identitas komunitas adat Baduy, agama Langkah lama yang jadi identitas komunitas adat Talang Mamak dan agama Waktu Telu yang jadi identitas komunitas adat Sasak atau agama komunitas adat Tengger sebelum melebur diri menjadi Hindu Dharma.
Dalam ilmu antropologi agama bersahaja (primitive religion) adalah sebutan untuk kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan keagamaan - komunitas adat, masyarakat tradisional, terpencil, dan belum kenal tulis-baca – yang tentu saja tidak ditemukan lagi dalam masyarakat urban dan sophisticated. Tapi, tidak berarti bahwa agama masyarakat sederhana itu tidak kompleks dibandingkan dengan agama masyarakat “maju”. Ada bukti-bukti ilmiah, bahwa agama komunitas adat di Oseania, Amerika dan Afrika Sub-Sahara juga sangat kompleks, mencakup ditil-ditil kecil kehidupan komunitasnya. Agama-agama dari budaya lama (budaya paleolitik, mesolitik dan neolitik) juga tergolong sebagai agama bersahaja (Charles H. Long dalam Primitive Religion: General Information, 2001).
Para ahli antropologi religi sendiri sepakat, bahwa pemahaman paling awal tentang agama diperoleh manusia hasil pengalaman dan ekspresi dari pengalamannya sesuatu yang sakral. Pengalaman sakralisme inilah yang pada awalnya dipandang sebagai model bersahaja dari kesadaran keagamaan manusia, sesuatu yang dianggap yang paling mudah diamati dari agama bersahaja (primitive religion).
Komunitas adat[6] sendiri adalah kesatuan-kesatuan sosial lokal yang masih memiliki identitas kelompok yang padu, mudah dikenali, jelas batas-batasnya dan memiliki latar belakang sejarah budaya yang runtun, dapat ditelusuri melalui tradisi lisannya. Keterpaduan identitas mereka dimungkinkan karena menempati suatu wilayah komunal dan saling terikat dalam hubungan sosial primordialis tertentu, mungkin karena hubungan darah (konsanguinal) maupun karena hubungan perkawinan (affinal). Keterkaitan dengan wilayah komunal dan ikatan kekerabatan berorientasi primordialisme itu menunjukkan bahwa mereka adalah kesatuan sosial teritorial-genealogis (tidak dapat dipisahkan dari daerah dan keluarga asal). Kesatuan sosial itu juga bukan bentukan baru, tetapi merupakan sebuah struktur sosial warisan yang cenderung tertutup melalui pengaktifan (kembali) dan pemujaan terhadap sistem nilai konvensional.
Ciri-ciri agama bersahaja dan ciri-ciri komunitas adat seperti di atas memang cenderung menunjukkan ada korelasi erat antara keduanya, bahwa penjelasan tentang agama komunitas adat dapat dengan mengaitkannya dengan agama bersahaja. Studi tentang agama-agama bersahaja sendiri sebenanya sudah ada sejak berkembangnya minat bangsa-bangsa maju mengenai asal mula budaya dan peradaban manusia. Ilmu etnografi yang kemudian berkembang menjadi antropologi yang lahir sebagai ilmu yang mempelajari asal mula manusia dan budaya bangsa-bangsa lain menggunakan data empiris tentang kepercayaan dan pengamalan agama di luar budaya Eropa untuk memahami asal mula peradaban dan untuk memupuk kebanggaan atas budayanya sendiri. Karena itu studi antropologi tentang agama-agama ikut mempengaruhi pemahaman bangsa-bangsa maju tentang asal mula cara berpikir dan pembentukan kelembagaan sosial umat manusia.
Teori Agama Bersahaja
Kerangka uraian tentang agama bersahaja yang paling sederhana dan sering dijadikan acuan adalah tulisan Charles H. Long (Primitive Religion: General Information, 2001). Menurut Long, teori-teori tentang agama bersahaja bergerak antara dua kutub: antara pandangan intelektualistis dan rasional, dengan pandangan psikologis dan irasional.
Edward B. Tylor (“Primitive Culture”, 1871) dan Sir james Frazer (“Golden Bough”, 1911) memandang agama bersahaja dicirikan oleh keunggulan kepercayaan tentang sihir dan kekuatan gaib, suatu hal yang mereka anggap mewakili cara pikir intelektual dan rasional. Bedanya, menurut Tylor masyarakat bersahaja membuat kesalahan intelektual dengan mengacaukan realitas subyek dan obyek. Mereka percaya roh yang ada dalam makhluk hidup dapat lepas dan dapat berdiri sendiri dengan bentuk bebas. Menurut Tylor, mimpi adalah dasar dari kesalahfahaman antara realitas subyek dan obyek ini. Dalam mimpi seseorang merasa sebagai subyek, pada saat yang sama juga sebagai obyek. Tylor sendiri mendefinisikan agama bersahaja sebagai animisme, suatu kepercayaan tentang keberadaan kekuatan spiritual. Definisi ini menunjukkan interpretasinya bahwa dasar dari agama bersahaja adalah kepercayaan bahwa lepas dan terlepasnya kekuatan spiritual (roh) membentuk suatu realisme suprahuman. Dalam pandangan masyarakat bersahaja keberadaan realisme suprahuman ini sama nyatanya dengan keberadaan dunia fisik.
Interpretasi yang berbeda datang dari pendekatan eksperimental dan psikologikal R.H. Codrington (The Melanesians, 1891) tentang “mana” sebagai suatu kekuatan supernatural atau pengaruh pengalaman oleh masyarakat Melanesia. Hal ini memberi dasar bagi sarjana lain untuk menjelaskan asal-mula agama bersahaja, yang menurut mereka berakar pada pengalaman masyarakat bersahaja tentang dinamika kekuatan alam. Interpretasi paling berpengaruh adalah pendapat Rober R. Marett (The Treshold of Religion, 1914), variasi dari teorinya terlihat dalam karya Lucien Levy-Bruhl (Primitive Mentality, 1924) yang membedakan antara mentalitas logis dengan mentalitas pralogis dalam menganalisa cara berpikir tentang pengalaman; dan tulisan Rudolf Otto yang menjelaskan makna khusus keagamaan dari model kesadaran manusia.
Pendekatan intelektual rasional lain ditunjukkan oleh Emile Durkheim, yang memandang agama sebagai keseluruhan perbuatan pemujaan dan strukturnya, dimana simbol-simbol agama tumbuh sebagai “representasi kolektif” (collective representation) dari kehidupan sosial, dalam hal ini ritus-ritus berfungsi untuk menyatukan individu dengan masyarakatnya. Claude Levi-Strauss (The Savage Mind, 1962) mengembangkan gagasan Durkheim lebih jauh dengan menunjukkan bahwa cara-cara berpikir dan struktur sosial yang diidealkan oleh suatu masyarakat tergambar dalam mitos-mitos dan simbol-simbol. Berangkat dari pendekatan struktural dari ilmu linguistik, dia menyatakan bahwa pemikiran logis manusia tidaklah universal, dan perbedaan cara berpikir manusia bersahaja dengan manusia moderen tidak karena perbedaan logika, tapi karena berbedanya data yang digunakan untuk berlogika.
Pengalaman keagamaan dan ekspresinya
Kedua pendekatan – psikologis atau intelektual – dapat dipakai, dan dapat menjelaskan bahwa pengalaman masyarakat bersahaja tentang dunia berbeda dengan manusia moderen. Mungkin saja ada yang beranggapan bahwa perbedaan ini terjadi karena perbedaan kemampuan intelektual. Levi-Strauss seperti digambarkan di atas, percaya bahwa kemampuan intelektual masyarakat bersahaja setara dengan budaya masyarakat lain dan perbedaan antara kedua cara berpikir ini hanya pada bagaimana memandang sesuatu. Ia beranggapan bahwa pemikiran bersahaja juga pemikiran yang konkrit, dalam arti bahwa cara pikir mereka tentang obyek diekspresikan melalui mitos-mitos[7], ritus-ritus dan sistem kekerabatan yang tertata dalam keteraturan yang rasional.
Mircea Eliade (Australian Religion, 1973) memiliki pandangan yang sama dengan itu. Menurutnya budaya bersahaja jauh lebih terbuka kepada lingkungan alam. Keterbukaan ini memungkinkan mereka memahami alam sebagai realitas yang sakral. Bagi masyarakat bersahaja segala sesuatu dalam dunia dapat memberi pengalaman sakral. Dalam teorinya Eliade berpendapat bahwa pesan sakral adalah suatu pengalaman total yang tidak dapat direduksi secara rasioal, irasional atau psikologis; pengalaman manusia tentang sesuatu yang sakral dapat terkait kepada ketiganya. Cara bagaimana pengalaman itu terintegrasi dan diperolehlah yang menjadi karakter dari kesakralan.
Upacara
Salah satu perilaku keagamaan yang paling banyak mengekspresikan ciri-ciri agama komunitas adat adalah ritus-ritus dan tindakan-tindakan upacara. Bentuk dan fungsi upacara sangat beragam, dapat saja dilakukan untuk menunjukkan pemujaan terhadap YME, untuk mengusir kekuatan jahat, atau untuk menandai suatu perubahan dalam status sosial budaya seseorang atau kelompok. Dalam banyak hal, tetapi tidak semua, pelaksanaan suatu upacara berasal dari atau didukung oleh mitos tertentu.[8]
Umumnya upacara agama (ritual) mengekspresikan transisi-transisi besar dalam hidup manusia: lahir (muncul menjadi ada); akil balig (muncul kesadaran tentang seksual dan status jenis kelamin); perkawinan (diterima sebagai warga dewasa dalam masyarakat); dana mati (kembali ke alam nenek-moyang). Upacara-upacara peralihan (daur hidup) ini berbeda-beda bentuknya, nilai-nilainya dan intensitasnya antara satu budaya dengan budaya lain. Terutama dalam kaitannya dengan pengertian-pengertian dan aspek-aspek lain dalam budaya yang bersangkutan. Beberapa komunitas adat di Indonesia upacara kematian dan upacara pemakaman diselenggarakan secara besar-besaran, seperti pada komunitas adat Toraja, Sumba dan Nias. Mereka memiliki mitos-mitos yang menggambarkan tentang proses perjalanan roh si mati ke dunia atau tempat lain,. Budaya seperti ini hampir tidak atau sedikit sekali mengembanglkan upacara khusus untuk kelahiran.
Hampir semua komunitas adat memberi perhatian besar terhadap masa usia akil balig (pubersitas) dan perkawinan, walaupun ada kecenderungan umum perhatian terhadap upacara akil balig laki-laki lebih besar dari pada masa akil balig perempuan. Semua itu karena akil balig dan perkawinan menyimbolkan beralihnya status sosial-budaya-psikologis seorang manusia dari masa anak-anak ke masa transisi dengan masa dewasa. Di masa ini posisi dan peran seseorang dalam struktur kekerabatan dan komunitinya mulai diperhitungkan. Karena itu pula masa akil balig sering ditandai dengan upacara-upacara dan tindakan-tindakan khusus, seperti upacara sunat (circumcision) pada berbagai komunitas adat lama, seperti orang Talangmamak, Nias, Wana dan Asmat dengan konsep yang berbeda dengan “sunat rasul” dalam agama Islam. Upacara sunatan untuk anak perempuan jarang dilakukan, tapi memang ada pada beberapa masyarakat. Ritus akil balig bagi anak perempuan lebih banyak berhubungan dengan periode menstruasi pertamanya.
Upacara peralihan sering pula dikaitkan dengan peralihan periodik alam. Misalnya ada upacara khusus untuk pergantian tahun, pergantian musim, mengawali musim bertanam, mengakhiri musim panen pada komunitas petani. Berbagai upacara juga dikembangkan dalam kehidupan komunitas pemburu-peramu; mereka percaya bahwa upacara itu akan membuat pemburu lebih “kuat” dan perburuannya lebih berhasil.
Jenis upacara lain adalah yang berhubungan dengan masalah-masalah tidak terduga, seperti perang, kekeringan, bencana alam lain dan kegiatan-kegiatan mendadak. Upacara yang dilaksanakan dalam rangka menghadapi hal-hal darurat ini biasanya dimaksud untuk meredakan “kemarahan” atau hukuman dari kekuatan adikodrati (supernatural) atau Yang Maha Kuasa yang dipercayai sebagai hal yang menyebabkan bencana tersebut, atau untuk mencari tahu apa yang menyebabkan sang adikodrati memberi bencana.
Upacara biasanya adalah kegiatan yang sangat berstruktur. Setiap penyelenggara atau pengikut atau kumpulan pengikut memiliki peran tersendiri didalamnya. Ada upacara yang melibatkan seluruh warga, ada pula yang terbatas hanya untuk kelompok tertentu berdasarkan jenis kelamin, usia dan kedudukan. Tidak heran jika upacara inisiasi untuk laki-laki berbeda peserta dan caranya dengan untuk perempuan; upacara sebelum berburu berbeda dengan upacara sebelum bertani, membangun rumah dan sebagainya. Ada upacara yang hanya boleh diikuti oleh para prajurit, ada pula yang hanya dilakukan oleh para empu pembuat senjata, para dukun dan para pendeta.
Kekuatan adikodrati
Kekuatan adikodrati biasanya dikenali lewat tanda-tanda keberadaannya. Sang Pencipta atau dewa-dewa penguasa sumber-sumber kekuatan alam dianggap berada di tempat-tempat dimana sumber daya alam muncul. Karena alam memiliki struktur sendiri, maka kekuatan adikodrati juga dianggap berstruktur. Ada kekuatan adikodrati yang dianggap paling tinggi dan paling berkuasa, biasanya berada di tempat yang tinggi, karena itu dewa-dewa penguasa dianggap berada di lagit. Langit sebagai wujud ekspresi transenden primordial adalah salah satu contoh bentuk kekuatan dahsyat yang sakral. Dalam pandangan ini dewa-dewa penguasa langit dianggap sangat menentukan kehidupan manusia. Bukankah cahaya matahari, hujan, badai, dan kekeringan merupakan wujud kekuatan gaib yang berasal dari langit?
Kesamaan konsep kekuatan adikodrati penguasa langit pada budaya bersahaja dengan Tuhan tunggal dalam agama Yahudi, Kristen, Islam dan Zoroastrianisme menyebabkan mahasiswa-mahasiswa Barat yang mengkaji agama menyebutnya sebagai “monoteisme bersahaja”. Karena itu pula, agama-agama besar mereka anggap sebagai hasil dari proses devolution of religion (pembalikan proses perkembangan) bukan evolusi dari politeisme menjadi monoteisme. Berbeda dengan anggapan selama ini, bahwa agama-agama besar merupakan hasil dari proses evolusi dari politeisme melalui henoteisme (pengakuan atas keberadaan sejumlah tuhan, tapi ada satu yang dominan) menjadi monoteisme.
Pendukung gagasan monoteisme bersahaja yang paling gigih adalah Wilhelm Schmidt, seorang pendeta katolik Roma dari Austria yang juga seorang ahli etnologi. Dalam pandangannya bentuk sakral paling awal berasal dari langit – sang pencipta yang menguasai langit luas. Pengakuan dan pemujaan terhadap Tuhan Langit itu memudar dan akhirnya menghilang seiring dengan perhatian manusia terhadap dewa-dewa yang kurang berkuasa (tapi lebih sering tampil dalam dinamika kehidupan sehari-hari manusia). Namun kemudian, melalui sejarah budaya yang panjang Tuhan tunggal yang maha pencipta kembali diingat dan dipuja orang dalam agama-agama monoteisme. Akan tetapi, cara berpikir seperti ini ditolak oleh para sarjana masa kini, karena bercorak “evolusi unilineal”.
Berkaitan dengan Tuhan Langit ada pula kepercayaan terhadap kekuatan tuhan-dewa yang diwujudkan oleh matahari dan bulan. Simbolisme matahari sebagai kekuatan transenden langit sering lebih dekat dengan kehidupan komunitas manusia yang menganggap matahari sebagai kekuatan paling rasional dalam mengatur kehidupan. Dewa-dewa matahari adalah pencipta dengan kekuatan penumbuhnya – menghasilkan kekuatan. Dewa Langit sering pula dianggap sebagai pencipta ex nihilo (“out of nothing”), sudah selesai; mereka tidak memerlukan manusia sebagai perantara dalam penciptaan, dan cenderung dianggap sudah mengundurkan diri dan sedikit sekali campur tangan kepada kehidupan manusia.
Manifestasi dan kehadiran dewa bulan berbeda dari dewa matahari. Dewa-dewa bulan diasosiasikan dengan suatu struktur yang lebih berirama; mereka lebih lentur dan rapuh, kelihatan lebih goyah dan lebih mudah menghilang dan timbul. Dewa bulan sering kali dipersepsikan sebagai wanita dan dihubungan dengan sifat-sifat wanita. Dewi-dewi bulan adalah turunan kehidupan yang rapuh, berbeda dengan dewa-dewa matahari, keberadaannya bukanlah keberadaan dalam sejarah kekuasaan dan kekuatan, tapi adalah simbol dari daur hidup manusia: lahir, hidup dan mati. Tempat-tempat lain dimana dewa-dewi dianggap mewujudkan diri adalah pada benda-benda alam seperti sungai, air terjun, tumbuh-tumbuhan, tanaman pokok, batu, seksualitas manusia dan sebagainya.
Pola kedewaan atau ketuhanan juga beragam sesuai dengan bentuk dan jenis masyarakat pendukungnya. Pada budaya berburu-beramu misalnya, tidak hanya ada bahasa dan upacacara khusus untuk berburu dan beramu, tapi biasanya juga ada Pemilik, Penjaga, Tuan atau Induk dari hewan dan tanaman tertentu – yaitu yang menciptakan, melindungi, dan menyediakan hewan dan tanaman tersebut untuk pemburu-peramu. Agama seperti ini masih terdapat di pelosok-pelosok dunia, seperti pada, sukubangsa Siberut di Kepulauan Mentawai, Talang Mamak dan Anak Dalam di pedalaman Sumatera, beberapa sukubangsa Dayak di pedalaman Kalimantan, sukubangsa Asmat di Papua dan pada komunitas-komunitas adat terpencil lain.
Agama komunitas adat yang lebih kompleks dapat ditemukan pada masyarakat petani tradisional. Sering kali dianggap bahwa budaya petani kuno berhubungan erat dengan ritus feminimisme dan pengkhususan peran perempuan. Hal ini berarti bahwa pemberian dan kekuatan pertanian menyediakan sebuah wadah dimana kesakralan dunia dapat diekspresikan dalam feminiminitas umat manusia. Upacara-upacara pertanian menjadi sebuah bahasa simbolik yang amat kuat menyuarakan gestasi, kelahiran, nurture dan kematian. Perkembangan seperti ini tidak berarti bahwa matriarkhi dan perempuan mendominasi masyarakat. Dalam masyarakat petani laki-laki mendominasi urusan-urusan secara konvensional, tetapi kekuatan perempuan selalu lebih ril dan potensial.
Dalam beberapa budaya di Afrika Barat ada tiga lapisan makna sosial budaya yang memberi bentuk. Pertama, mengacu kepada budaya pertanian kuno dimana kekuasaan dan simbolisme feminim lebih dominan. Kedua, dimana upacara-upacara dan hak-hak pertanian digambarkan dalam bahasa dan simbol-simbol maskulin. Sebaliknya, penggunaan simbol dan bahasa feminim dan maskulin digunakan secara bersama-sama pada lapisan ketiga. Pada masa kini lapisan tertua dapat diolihat pada konsep Ibu Suri (queen Mother) yang diyakini sebagai “pemilik tanah-air”; lapisan kedua nampak dalam sistem kerajaan; dan lapisan ketiga terlihat dalam mitos-mitos yang diasosiasikan dengan silmbolisasi telur. Yang pada tingkat kosmologis berarti sebuah kecenderungan perubahan seksual secara harmonis.
Sakralisasi personifikasi
Di dalam agama bersahaja kesakralan cenderung terbentuk secara alamiah, akan tetapi makna sakral juga dapat didefinisikan oleh segolongan orang-orang tertentu, seperti oleh pendeta atau pemimpin suatu agama. Pada sisi lain, kesakralan dapat pula dilokalisasi dan didefinisikan oleh sekumpulan orang atau sekelompok pemilik status dalam komunitas, seperti oleh pemimpin atau kaum penguasa. Warga biasanya menurut apa yang ditetapkan sebagai sesuatu yang sakral oleh syaman atau pemimpin agama. Misalnya oleh Puhun (Baduy), Sikerei (Siberut), atau Kementan (Talangmamak). Pada kasus-kasus tertentu peranan dan fungsi raja atau pemimpin dianggap sebagai penentu kesakralan karena mereka sering disamakan sebagai titisan atau tiruan dari sang pencipta. Penyamaan status sakral dengan dewa tersebut ditanamkan melalui penuturan mitos-mitos, sehingga dapat berkelanjutan secara turun temurun.
Sebaliknya, ada pula bentuk sakral individual yang dianggap melekat pada pribadi-pribadi yang memiliki tanda-tanda atau “panggilan-panggilan” tertentu (Jawa: wangsit). Orang-orang seperti shaman termasuk ke dalam kategori ini. Shaman direkrut dari sejumlah orang muda yang dianggap memiliki tanda-tanda psikologis tertentu yang menunjukkan kesiapan mereka untuk masuk ke dalam kompleksitas dunia sakral. Begitu terpilih, shaman harus mengukiti serangkaian upacara inisiasi khusus dan diajar berbagai cara pengobatan dan perilaku sakralistis oleh shaman-shaman yang lebih tua. Karena berhubungan dengan pekerjaan sakral, maka setiap shaman harus melalui perjalanan pengalaman melatih diri yang panjang sebelum boleh melakukan praktek sendiri. Sama halnya dengan keberadaan seorang dukun atau peramal, hanya saja kedudukan ini sering diturunkan secara generatif.
Agama Komunitas Adat dan Pengakuan Negara
Konstitusi kita mengatur pengakuan sekaligus jaminan dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan mendasar untuk memeluk agama dan kepercayaan dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD.[9] Pasal tersebut sangat krusial, tidak heran jika dalam beberapa kali proses amandemen Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak melakukan perubahan apapun terhadap pasal tersebut. Namun demikian, prinsip kebebasan memeluk agama dan kepercayaan itu belakangan ini dibatasi hanya pada 6 (enam) agama resmi (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu) yang diakui oleh negara, seperti terlihat dalam RUU Administrasi Kependudukan. Padahal, selain agama-agama yang “diresmikan” tersebut banyak lagi agama dan aliran kepercayaan lainnya yang dianut oleh penduduk Indonesia.
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan diundangkan dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2005, mengatur dalam Pasal 18, bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dihalangi untuk menyatakan keyakinan nya pada suatu agama atau kepercayaan. Dalam Laporan Tahun 2004 United Nations Special Rapporteur on Freedom of Religion or Belief, juga ditegaskan bahwa pencantuman agama dalam kartu identitas penduduk adalah tidak sesuai dengan prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinan yang telah diakui dan dilindungi oleh masyarakat internasional.
Sebenarnya RUU Adminduk diharapkan dapat mengakhiri problem diskriminasi agama dan kepercayaan di Indonesia. Namun, substansi dari materi RUU Adminduk cenderung bertentangan dengan kaidah penyusunan peraturan perundangan, khususnya asas nondiskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender. Dengan demikian, legislasi ini justru akan melanggengkan praktek diskriminasi.
Dalam penyusunan kebijakan administrasi kependudukan, terdapat setidaknya 3 (tiga) pilihan. Pertama, sebagaimana yang terumus dalam RUU Adminduk, yaitu hanya membatasi pilihan pada 6 agama resmi. Kedua, mencatatkan apapun agama dan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia, tanpa terkecuali. Pilihan ini adil dan mengandaikan adanya kesetaraan di antara pemeluk agama dan penghayat kepercayaan yang berbeda-beda. Opsi ketiga, yaitu menghapuskan kolom agama di dokumen-dokumen kependukan.
Banyak negara menghapuskan kolom agama dan kepercayaan dalam kartu identitas kependudukan. Negara-negara yang tercatat sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, bahkan beberapa negara Islam sekalipun, dalam prakteknya tidak mewajibkan adanya afiliasi pada satu agama dan kepercayaan, atau malah tidak mengharuskan pencantuman keyakinan dalam kartu tanda identitas penduduknya. Diantara negara-negara tersebut adalah Aljazair, Bahrain, Iraq, Kuwait, Mauritania, Oman, Qatar, Sudan, Tunisia, Arab Emirat. Mereka tetap dapat membereskan problem administrasi kependudukan tanpa perlu mengambil resiko besar dengan mencantumkan kolom identitas agama dan kepercayaan.
Di Indonesia, pihak-pihak yang bersikeras menginginkan pencantuman identitas 6 agama resmi (minus kepercayaan) berargumen bahwa itu adalah cara yang paling efektif untuk menghindari kesalahan-kesalahan administratif. Ilustrasi yang biasa mereka kemukakan adalah: seandainya terdapat mayat yang tidak dikenal, maka identitas agama di KTP dapat dipakai sebagai petunjuk sehingga ia akan dapat dimakamkan sesuai dengan agamanya. Argumen semacam ini merupakan simplifikasi dari penyelesaian masalah, tanpa memperhitungkan potensi permasalahan lain yang akan timbul karena solusi itu. Pilihan nya, menguburkan mayat secara benar berdasarkan agama dalam KTP atau membiarkan penduduk tak bersalah menjadi mayat korban konflik akibat identitas agama dalam KTP?
Kesimpulan
Unsur pokok yang mendasari bentuk-bentuk, fungsi-fungsi, upacara-upacara, personifikasi dan simbol-simbol dalam agama komunitas adat adalah dikotomi antara sakral dan profan. Sakral menunjuk dunia realitas, sebagai basis bagi seluruh bentuk makna dan perilaku dalam masyarakat. Profan sebagai lawan dari sakral, tidak dijadikan basis bagi struktur dan perilaku warga komunitas. Sungguhpun keduanya memperlihatkan sebuah model eksistensi dan model quasi reality (seolah-olah ada, pura-pura), realitas tersebut tidaklah berdasarkan pada sebuah model keagamaan, tidak pula sebagai sebuah prinsip aturan bagi kegiatan-kegiatan atau makna-makna. Sebagai contoh, makna ruang pada sebuah desa bersahaja diletakkan sesuai model keagamaan yang menunjukkan realitas sakral. Sedangkan ruang di luar ruang-ruang terorganisir dalam desa dipandang sebagai ruang profan, karena tidak teratur, dan karena itu pula tidak termasuk ke dalam makna keagamaan mereka. Yang jelas, perbedaan antara sifat sakral dan profan ada pada setiap tingkat komunitas adat.
Sungguhpun struktur agama dibangun secara sakral kemasyarakatan, akan tetapi kesadaran agama sangat bersifat pribadi, terkait dengan pengalaman dan pemahaman seseorang dalam menghayati keyakinan, melaksanakan ritus-ritus (upacara-upacara) dan mengaktifkan simbol-simbol keagamaannya. Hal-hal seperti ini merupakan substansi pokok baik dalam agama-agama “besar” maupun dalam agama-agama komunitas adat atau agama bersahaja umumnya. Pada masa kini keberagaman latar belakang asal-usul, sosial-budaya, pendidikan, sejarah dan lingkungan menyebabkan agama-agama memiliki corak, tidak terkecuali agama-agama komunitas adat.
Perkembangan agama-agama besar yang cenderung lebih terstruktur, makin lama makin lebih bersifat monoteis, dan dapat melintasi berbagai ragam budaya, tidak menjadikan agama-agama komunitas adat punah. Sebaliknya, nampak ada korelasi erat antara kemampuan survival komunitas adat dengan sistem keyakinan dan perangkat keagamaan (upacara dan simbol-simbol) mereka. Sungguhpun tidak semua komunitas adat memiliki agama komunal sebagai identitas diri – banyak komunitas adat yang sudah memeluk agama resmi – namun pada sebagian dari mereka agama komunal tersebut menjadi salah satu identitas kelompok sekaligus sebagai pemberi batas lingkup sosial-budaya.
Sementara itu, ciri-ciri kebersahajaan juga tidak sepenuhnya lagi melekat pada sebagian dari komunitas adat. Identitas sebagai komunitas adat dan penganut agama komunal tidak selamanya disertai dengan ketakmampuan literal. Banyak bukti bahwa penganut agama bersahaja juga mencakup kaum intelektual, sarjana dalam bidang ilmu moderen tertentu. Karena itu kemajemukan bangsa Indonesia bukan saja terungkap dari budaya-budaya tangible, tapi juga dari beragamnya budaya intangible, seperti sistem religi dan pengetahuan tradisional dan kearifan lingkungannya.
Jakarta, 22 Juni 2007
[1] Staf Departemen Kebudayaan dan Pariwisata aktif di Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
[2] Dari sisi pengetahuan, kepercayaan atas sebuah pernyataan tentang sesuatu yang dipahami atau diketahui dapat bersifat rasional maupun irasional. Dalam sains (ilmu pengetahuan) kepercayaan atas sebuah pernyataan tentang sesuatu itu bersifat rasional, dan harus dibuktikan dengan kenyataan-kenyataan, pembuktian-pembuktian empirik, dan argumentasi-argumentasi logis. Sedangkan dalam sistem kepercayaan spiritual sebuah pernyataan mengenai sesuatu cenderung bersifat irasional karena mengacu kepada bukti-bukti tak-teraba (intangible). Karena kepercayaan spiritual lebih banyak menggunakan bukti-bukti intangible maka lebih banyak pula menggunakan nilai-nilai budaya inti (culture core value) sebagai penjaga keutuhan dan kesinambungan kepercayaan itu sendiri.
[3] Sistem kepercayaan atau keyakinan secara khusus selalu dijaga dan dipelihara karena menjadi inti dari kepercayaan atau agama itu sendiri. Didalamnya terkandung konsep-konsep tentang baik dan buruk, sakral dan profan, pencipta dan tercipta, dunia nyata dan dunia gaib, hidup dan mati, nyawa dan roh dan sebagainya.
[4] Yaitu agama-agama dominan dan memiliki banyak pengikut diberbagai belahan dunia, seperti Protestan, Katholik, Islam, Hindu, Budha dlll.
[5] Dalam ilmu antropologi, setiap kepercayaan atau keyakinan yang berdasarkan suatu getaran jiwa atau emosi spiritual yang dalam terhadap sesuatu sehingga dianggap sakral disebut agama. Dalam agama, dikhotomi antara sesuatu yang tergolong sakral dan yang tergolong profan sangat ditekankan sebagai pemberi “arah”, dan untuk memelihara emosi spiritual tersebut. Dengan mengadopsi penjelasan Koentjaraningrat (Pengantar Ilmu Antropologi, 1989), maka setiap aspek keagamaan atau kepercayaan spiritual selain memiliki emosi juga memiliki paling tidak tiga unsur lain, yaitu: (1) sistem kepercayaan atau keyakinan, (2) sistem upacara dan pengamalan kepercayaan, (3) suatu umat atau kelompok yang menganut kepercayaan tersebut.
[6] Departemen Sosial menggunakan istilah “komunitas adat terpencil” untuk mengganti istilah “masyarakat terasing” untuk kelompok masyarakat yang tidak atau sedikit sekali memiliki akses transportasi, komunikasi dan tidak ada atau sedikit sekali mendapat sentuhan pembangunan nasional . Pada masa kini, komunitas adat sendiri cenderung digunakan sebagai padanan bagi kata indigenous people yang dilansir oleh badan-badan dunia (UNESCO, UNICEF, ILO). Sementara itu sebgian kalangan LSM sejak dekade lalu menggunakan kata masyarakat adat sebagai padanan indigenous people.
[7] Mitos adalah pengintegrasian simbol-simbol keagamaan ke dalam bentuk narasi. Mitos tidak hanya mengandung pandangan komprehensif tentang dunia, tapi juga menyediakan alat untuk memahami dunia. Sungguhpun mitos sering menjadi pemberi alasan bagi ritus-ritus, akan tetapi bagi masyarakat bersahaja sebenarnya adalah model-model perwjudan cara berpikir tentang kesakralan yang berdiri sendiri .
[8] Sistem upacara dan pelaksanaan ajaran religi (amalan) setidak-tidaknya mencakup enam aspek yang perlu diamati, yaitu: (i) tempat, (ii) waktu, (iii) perlengkapan, (iv) orang-orang yang melakukannya, (v) prosesi dan (vi) syarat-syarat pelaksanaannya.
[9] "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 29 Ayat 2)
Jumat, 03 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar