Sulistiyo Tirtokusumo**
Indonesia merupakan salah satu negara yang budayanya sangat majemuk, baik kebudayaan materi maupun kebudayaan non materi. Kemajemukan ini dapat kita lihat dari beragamnya suku bangsa dengan masing-masing kebudayaannya, demikian juga dengan berbagai agama dan kepercayaan, ras serta golongan-golongan. Faktor utama majemuk adalah dikondisikan factor geografis. Namun jika dilihat secara keseluruhan, pengkondisi kemajemukan ini tidak hanya disebabkan faktor kondisi geografis alam semata, tetapi juga terkait dengan sejarah bangsa Indonesia yang sangat panjang yang dimulai dari jaman prasejarah hingga jaman postmodern dewasa ini. Pengaruh kebudayaan Hindu yang dimulai sekitar abad empat, serta pengaruh Budha, Islam dan anasir Barat yang masuk berikutnya, juga sangat berpengaruh besar dalam membentuk kemajemukan kebudayaan di Indonesia.
Apabila ditilik dari beberapa hal yang mengkondisikan kemajemukan kebudayaan Indonesia, ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan, misalnya: (1) pra sejarah – sejarah (memang majemuk); (2) politik (Indonesia sebagai State & Nation); (3) factor geografis alam – kepulauan; (4) masuknya pengaruh kebudayaan asing yang adaptif melalui cara asimilasi, difusi, akulturasi, dan enkulturasi; dan (5) misi perdagangan – hubungan (mempengaruhi konsep local – global).
Jika ditinjau dari sisi kesejarahan yang dimulai dari jaman pra sejarah sampai jaman sejarah, maka [kebudayaan] Indonesia memang majemuk. Mereka hidup di wilayah masing-masing dengan sistem social tersendiri seperti kepercayaan, teknologi dan peralatan hidup, bahasa lokal, sistem organisasi social dan politik, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, dan kesenian tersendiri. Ada cirri-ciri tersendiri yang membedakan masyarakat atau kebudayaan tersebut dengan kebudayaan lainnya. Oleh sebab orientasi kebudayaan untuk melihat Indonesia jaman dulu adalah berorientasi kepada lokalitas general dengan membangun cirri-ciri umum, misalnya kebudayaan Jawa atau orang Jawa, Kebudayaan Papua atau orang Papua, Kebudayaan Sumatera atau orang Sumatera dan seterusnya. Namun seiring dengan perkembangan kebudayaan tersebut dari waktu ke waktu serta terjadinya hubungan dengan dunia ‘luar’ akibat persentuhan budaya dari berbagai bentuk, maka lokalitas general tersebut lebih diidentifikasi secara spesifik, sehingga cirri-ciri sebagai penanda juga lebih dispesipikasi. Ciri-ciri keberagaman itu misalnya dapat kita lihat dari segi bahasa, rumah adat, upacara adat dan religi, pakaian adat, kesenian dan sebagainya.
Berdasarkan politik, dimana Indonesia sebagai Negara dan Bangsa, maka factor pra sejarah-dan sejarah tersebut diterima dan diadaptasi menjadi Indonesia. Indonesia yang secara sejarah memang majemuk (plural). Ini dikonseptulisasikan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity), yang artinya berbeda tapi satu, Indonesia. Hal ini sangat disadari oleh pendiri bangsa dan Negara ini, sehingga konsep keberagaman ini sangat jelas termaktup dalam Dasar Negara Indonesia Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selanjutnya, apabila kita lihat berdasarkan pertimbangan geografis, maka hal ini juga sangat mengkondisikan keragaman budaya Indonesia. Negara Indonesia terdiri atas lebih dari 13.677 pulau-pulau besar dan kecil. Dari sejumlah itu, ada 5 (lima) pulau besar, yakni Kalimantan, Papua, Sumatera, Sulawesi dan Jawa. Kelima pulau ini ditempati oleh berbagai suku dan anak suku atau kelompok etnis dan sub kelompok etnis (ethnic groups and sub ethnic groups). Tiap-tiap pulau di wilayah nusantara ini masing-masing didiami atau dihuni juga oleh kelompok dan sub kelompok etnis yang berbeda antara satu dengan lainnya dan masing-masing mendukung kebudayaannya sendiri-sendiri. Dan ini menunjukkan betapa kayanya budaya kita dan sifat dari keanekaragaman menjadi kebanggaan bahkan dianggap sebagai modal utama suatu anugerah bagi bangsa Indonesia.
Faktor lainnya adalah pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Ini ditandai dengan ditemukannya sebuah prasasti di Kutai Kalimantan Timur pada masa Mulawarman (Abad ke-4). Prasati ini menandai jaman sejarah Indonesia, sekaligus adanya pengaruh kebudayaan Hindu Budha masuk ke Nusantara. Pengaruh kebudayaan Hindu demikian juga Budha ini berlangsung cukup lama hingga abad ke-13, sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Nusantara selanjutnya meskipun kebudayaan Islam telah masuk ke Nusantara pada abad ke-13 di Samudera dan Pasai, Aceh. Juga, pengaruh dari kebudayaan Barat berpengaruh besar. Demikian selanjutnya seiring dengan perjalanan waktu, banyak hal yang mempengaruhi kemajemukan kebudayaan Indonesia.
Bangsa Indonesia yang majemuk tersebut, terdiri atas suku-suku bangsa yang besar dan kecil. Masing-masing suku bangsa mempunyai sistem social dan kebudayaan sendiri-sendiri, dan mereka itu mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif mereka terhadap tantangan yang timbul dalam proses adaptasi di lingkungan masing-masing. Aneka ragam kebudayaan yang berkembang di kepulauan Nusantara ini dihayati oleh para pendukungnya sebagai acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan selanjutnya. Hal ini, karena dibalik keanekaragaman kebudayaan suku bangsa tersimpan nilai luhur, adat istiadat yang semuanya dianggap bermakna “melebihi” yang lain.
Kebudayaan suku bangsa itu, selain berfungsi sebagai acuan juga berfungsi sebagai ciri pengenal yang membedakan kelompoknya dari kelompok suku bangsa yang lain. Kuatnya pengaruh kebudayaan terhadap pola pikir masyarakat pendukungnya tercermin dalam kesadaran akan adanya perbedaan kebudayaan diantara penduduk di kepulauan nusantara. Setidaknya mereka menyadari akan adanya perbedaan bahasa kesukuan maupun adat istiadat, kesenian maupun kepercayaan yang menjadi kerangka acuan dalam kegiatan social mereka sehari-hari, seperti komunitas Minang, komunitas Jawa, komunitas Sunda, komunitas Batak dan sebagainya dapat ditandai dengan identitas budaya sebagai ciri yang khas dengan segera dapat diketahui. Misal Saman (Aceh), Tari Piring (Minangkabau), Zapin (Riau), Tor-tor (Batak), Cokek (Betawi), Gambyong (Jawa Tengah), Bedoyo Pangkur (Surakarta), Tari Perang dan Belian (Dayak) dan sebagainya, Atau dapat pula diketahui dari lagam seni jenis musik, misal Sasando (Nusa Tenggara Timur), Senandung Jolo (Jambi), Santi Swara (Jawa Tengah), alat musik Sampe (Dayak), Tingkilan (Kutai) dan sebagainya.
Lain halnya dalam komunitas suku-suku bangsa tersebut yang di dalamnya ada lingkup komunitas yang lebih kecil lagi, yang mencerminkan dan memiliki adat istiadat lebih khusus, dalam arti mempertahankan pola-pola kehidupan lama yang biasa disebut dengan komunitas adat. Komunitas adat merupakan kesatuan social yang menempati suatu daerah/wilayah tertentu dan berinteraksi secara kontinyu sesuai dengan suatu system adat istiadat tertentu. Dan sebagai kesatuan social, komunitas adat biasa biasanya masih mempertahankan pola-pola kehidupan lama, tradisi nenek moyang yang sudah banyak ditinggalkan oleh komunitas-komunitas yang lain. Komunitas-komunitas adat tersebut tersebar di seluruh wilayah nusantara, seperti Cibeo (Baduy/Banten), Kampung Naga (Jawa Barat), Tengger (Jawa Timur), Tenganan Penggrisingan - Trunyan (Bali), Muaro Bungo (Jambi), Nunusaku (Pulau Seram), Bikomi Maslete (NTT), Osing (Banyuwangi), Kajang (Sulawesi Selatan), Bayan (NTB), Negeri Mamala (Ambon) dan sebagainya.
Pada komunitas adat tersebut biasanya terdapat lembaga adat sebagai suatu wadah atau organisasi yang pembentukannya dilandasi aturan-aturan adat dan norma-norma yang berfungsi untuk mengatur masyarakat ‘komunitas adat’ dalam melaksanakan adat-istiadat itu sendiri. Dalam mewujudkan perilaku atau kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, mereka berpegang pada norma-norma dan aturan-aturan adat yang harus dipatuhi, yang kemudian mereka wujudkan dalam bentuk upacara-upacara ritual yang didalamnya biasanya terdapat seni ritual dan sebagainya. Upacara-upacara ritual tersebut, merupakan wujud tindakan dari kepercayaan asli dari komunitas tersebut. Contoh: Rambu Solo (Toraja), Upacara Balia (Sulawesi Tengah), Upacara Ritual Kepercayaan asli ‘Bikomi Maslete’ (Nusa Tenggara Timur), Tarian Rejang pada upacara Usaba Sumbu (Bali), tarian pada upacara Balalak (upacara menurunkan perahu ke sungai di Pontianak, Kalimantan Barat), Tari ritual pada upacara Tabot (Bengkulu) dan sebagainya. Kepatuhan dalam melakukan upacara sebagai suatu tradisi, seringkali menampakan sikap ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuatan-kekuatan yang terdapat dibalik adat istiadat. Ketentuan adat beserta pantangan atau larangan merupakan perangkat kebudayaan setempat atau kebudayaan asli yang juga diakui keberadaannya.
Dalam komunitas adat terdapat kepercayaan-kepercayaan asli, misal Aluk To Dolo (Toraja), Kaharingan (Dayak), Bara Marapu (Sumba), Sunda Wiwitan (Badui), Parmalim (Batak), Sabulungan (Mentawai), Ono Niha (Nias), Parandangan Ada (Sulawesi Tengah), Ratu Bantara (Flores) dan sebagainya. Begitu pula dalam penyebutan Tuhan Yang Maha Esa dalam kepercayaan asli beranekaragam, seperti sebutan Tuhan di ‘Bikomi Maslete’ (NTT) Uis Neno, Ompu Tuan Mula Jadi na Bolon (Parmalin di Sumatera Utara), Lowalangi (Nias), Ketsat (Mentawai), Batara Bromo (Tengger, Jawa Timur), Puang Matua (Toraja), Ratu Langi (Minahasa), di Kalimantan Tengah kepercayaan aslinya Kaharingan dengan sebutan Tuhannya Ranying dan sebagainya.
Dalam komunitas adat selain ada kesatuan adat-istiadat, juga terdapat lembaga adat sebagai suatu wadah atau organisasi yang pembentukannya dilandasi aturan-aturan adat dan norma-norma yang berfungsi untuk mengatur masyarakat ‘komunitas adat’ dan melaksanakan adat-istiadat itu sendiri. Contohnya: Lembaga Adat Kemendapoan (Kerinci), organisasi tradisional di Bali (Banjar, Subak dan Sekaa),
Selain komunitas adat tersebut di atas, juga terdapat kepercayaan-kepercayaan yang terwadahi dalam kelompok-kelompok atau paguyuban-paguyuban yang lazim disebut organisasi penghayat kkepercayaan terhadap Tuhan YME. Organisasi-organisasi tersebut sampai saat ini telah tercatat sejumlah 247 organisasi bersatutus pusat dan 999 organisasi bersatutus cabang yang tersebar di 25 Provinsi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kiranya keanekaragaman kebudayaan Indonesia merupakan asset bangsa yang kiranya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia.
* Disampaikan dalam Kegiatan Pendidikan Anak Alam Nusantara di Tegal, 29-31 Desember 2006.
** Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ditjen NBSF, Depbudpar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar