B. Blawing Belareq
Komunitas Adat Dayak Bahau Borneo
1. Pendahuluan
Pulau Kalimantan, satu dari sejumlah pulau terbesar dunia terbagi dalam 3 wilayah negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Pemerintah negara Indonesia kemudian membagi wilayahnya di pulau ini ke dalam empat wilayah yaitu Kalimantan Timur, Tengah, Selatan, dan Kalimantan Barat.
Pulau Kalimantan dihuni oleh beberapa etnis bangsa yang sejak dahulu telah tinggal dan berkembang di sana. Sebelum terbentuknya NKRI, terdapat beberapa kerajaan/kesultanan, dan komunitas etnis yang dikategorikan sebagai penduduk asli pulau Kalimantan. Kerajaan/kesultanan dan komunitas tersebut antara lain: Banjar, Kutai, Bulungan, Melayu, dan Dayak dengan ratusan sub etniknya. Kemudian setelah era NKRI dengan program transmigrasi maka semakin banyak etnik yang datang dan tinggal di Kalimantan.
Dengan heterogenitas yang terjadi, maka beragam budaya pun masuk ke Kalimantan dan berinteraksi dengan kebudayaan setempat. Sebuah komunitas pada umumnya memiliki aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai tertentu, baik yang berkaitan dengan religi, sosial, dan hukum. Dan terkadang aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai tertentu berbeda dengan yang dimiliki komunitas lain, dan pertemuan keduanya dalam kehidupan berbangsa sangat memungkinkan untuk terjadinya konflik. Untuk itu perlu digali kembali segala persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai tersebut.
2. Ruang Lingkup
Saya membatasi ruang lingkup pembahasan kita pada Kominitas Adat Dayak Bahau di provinsi Kalimantan Timur.
3. Masyarakat Adat Dayak Bahau
a. Sejarah Singkat
Dayak merupakan salah satu etnis mayoritas yang mendiami pulau Kalimantan. Nama ”Dayak” sebenarnya adalah sebutan orang Belanda kepada suku-suku yang tinggal di pedalaman Kalimantan yang artinya ”orang udik atau orang ulu”.
Bahau adalah satu dari banyak sub etnik Dayak yang ada di Kalimantan Timur, yang merupakan sub dari Dayak Apo Kayaan. Dayak Bahau sendiri terbagi lagi dalam sub yang lebih kecil dan memiliki dialek yang berbeda. Sebagai contoh sub Dayak Bahau yaitu Umaa’ Suling, Bahau Sa’, Bahau Busaang, Umaa’ Tuaan dan masih ada lagi. Atau lebih jelasnya adalah seperti di gambarkan di bawah ini.
DAYAK DI
KALIMANTAN
TIMUR
PUNAN
TUNJUNG -BENUAQ
APO KAYAAN
KENNYAH
SUB INDUK LAINNYA
KAYAAN MEDALAAM
KAYAAN MEKAAM
Tinggal di Kalimantan Barat
KAYAAN MEKAAM
LUNG GELAAT
BAHAU
KAYAAN
UMAA’ SULING
BAHAU BUSAANG
BAHAU SA’
UMAA’ TUAAN, dan sub lain yang lebih kecil jumlahnya
PENIHING / AOHENG
Masyarakat Dayak Bahau ini sebagian besar tinggal di sepanjang sungai Mahakam (Mekaam) terutama di daerah kabupaten Kutai Barat, dan beberapa kelompok di bagian utara Kaltim.
Sebelum tinggal di daerah sungai Mahakam, suku Bahau bermukim di Apo Kayaan bersama-sama dengan kelompok suku yang lain. Apo Kayaan adalah daerah dataran tinggi yang terletak di daerah Kabupaten Malinau. Pada abad ke-17 terjadi perpindahan dalam kelompok besar ke arah Barat. Dalam perjalanan kelompok ini terbagi menjadi dua pada peristiwa Mutat Ji’it. Akibatnya kelompok pertama meneruskan perjalanan ke Barat dan kelompok kedua mengambil jalan memutar dan akhirnya ke arah Selatan.
Kelompok yang ke arah Barat akhirnya menetap di Kapuas bagian hulu yaitu di daerah Medalaam, Kalimantan Barat; sehingga disebut Kayaan Medalaam. Sedangkan kelompok yang ke Selatan akhirnya menetap di Mahakam, yaitu mulai dari ulu sungai Mahakam sampai bagian tengah; di daerah Tering. Sekarang termasuk dalam wilayah kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sehingga disebut juga Kayaan Mekaam.
Sekarang orang Bahau tinggal menetap di sepanjang sungai Mahakam dan menjadi salah satu sub Dayak terbesar di Kaltim di samping Tunjung-Benuaq, Punan, Modang.
b. Kondisi Kehidupan Masyarakat Bahau
Orang Bahau sebagian besar tinggal di sepanjang sungai Mahakam mulai dari ulu sampai bagian tengah yang terbagi dalam 5 kecamatan dengan puluhan kampung.
Masyarakat Bahau hidup dalam nuansa tradisi yang kental, meski cukup sulit dikatakan demikian pada generasi mudanya; akan tetapi budaya tradisi leluhur masih bertahan. Gotong royong dan kekeluargaan menjadi cara yang ideal dalam menghadapi permasalahan sehari-hari.
Mata pencaharian orang Bahau adalah sebagai peladang, pencari hasil hutan, pedagang, dan pegawai negeri. Dalam banyak hal, orang Bahau masih teringgal.
i. Dari segi perekonomian masih belum maju benar akibat sulitnya akses dalam mencapai daerah tempat tinggal mereka. Jalur transportasi yang digunakan adalah jalur sungai dan udara. Sampai sekarang masih belum ada jalan darat yang mencapai daerah ini.
ii. Dari segi kesehatan, fasilitas kesehatan yang ada hanya puskesemas dan balai pengobatan dengan tenaga dokter yang sangat minim. Rumah sakit hanya terdapat di Tering, yang merupakan kampung paling hilir yang paling dekat dengan ibu kota kabupaten di mana dapat juga dicapai dengan jalan darat.
iii. Dari segi pendidikan, sekolah yang sudah ada adalah dari tingkat Sekolah Dasar sampai SLTP. Terdapat juga SMU tetapi hanya di beberapa kampung ibukota kecamatan saja. Biasanya setelah lulus SLTP siswa melanjutkan ke SMU di ibu kota kabupaten atau provinsi. Tenaga pengajar pun masih minim, baik kuantitas mau pun kualitas.
c. Kondisi Alam
Sebagian besar alam sekitar masih berupa hutan belantara yang cukup lestari. Hal ini karena wilayah kampung merupakan wilayah adat yang pemanfaatannya harus dengan seizin masyarakat setempat. Namun sekarang sedikit demi sedikit mulai terambah akibat operasi perusahaan kayu dan tambang yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Beberapa tahun terakhir sering terjadi bencana banjir yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan menelan korban jiwa. Dan agaknya jika dilihat selayang pandang sebagai akibat dari berkurangnya pohon kayu sebagai penahan air. Sedangkan jika tidak turun hujan dalam sepekan maka air sungai akan surut hingga sulit dilayari, sementara untuk menjangkau kampung-kampung di bagian hulu hanya mengandalkan sarana angkutan air.
Sungai Mahakam juga sudah mengalami pendangkalan, sehingga sangat menyulitkan transportasi pada musim kemarau.
Selebihnya masih tersimpan hutan belantara yang cukup luas yang merupakan tanah adat yang dilindungi hukum adat (tanaa’ peraa’).
4. Ideologi dasar Masyarakat Adat Bahau
Masyarakat Dayak Bahau selalu berusaha hidup dalam keselarasan, baik dengan alam, sesama, mau pun dengan Tuhan. Oleh sebab itu upacara-upacara adat kehidupan lebih mendapat perhatian dan masih tetap dilaksanakan sampai sekarang. Beberapa contoh upacara adat dalam rangka menjaga keselarasan kehidupan antara lain:
a. Upacara Adat Ngaping Tanaa’, Mela Tanaa’, dan Nyelung Tanaa’
Upacara Adat Ngaping Tanaa’ dan Mela Tanaa’ merupakan upacara untuk menyapu segala hal yang tidak baik dari tanah (lahan) yang hendak digarap atau dimanfaatkan untuk keperluah hidup seperti membuka ladang atau kebun.
Upacara Nyelung Tanaa’ merupakan upacara untuk memohon izin membuka lahan hutan untuk keperluan hidup seperti membuka ladang, atau kebun. Orang Bahau percaya bahwa setiap tempat ada pemiliknya dan setiap pohon dan hewan memiliki roh, atau ada roh yang mengatur atau memiliki mereka. Sehingga pemanfaatannya harus dengan seizin roh tersebut. Dengan nyelung tanaa’ tanah yang tidak baik sekali pun disucikan dan menjadi berkat atas keluarga yang tinggal dan berusaha di atasnya.
b. Upacara Adat Dangai
Upacara Adat Dangai merupakan kumpulan berbagai upacara adat kehidupan seperti upacara adat untuk pemberian nama anak, upacara anak remaja yang beranjak dewasa, upacara perkawinan dan upacara bagi kampung baru. Upacara adat ini penting karena merupakan perlambang penyerahan hidup kepada kehendak Ame Tinge (Ame=Bapak; Tinge=Berkuasa; Bapak yang Maha Kuasa).
¬ Dangai Anaak : adalah upacara mengukuhkan atau meresmikan nama seorang anak.
¬ Dangai Kadaan : adalah upacara mengukuhkan atau meresmikan seseorang boleh memakai pakaian adat yang bernilai sakral.
¬ Dangai Hawa’ : adalah upacara mengukuhkan atau meresmikan adat pernikahan sebuah pasangan suami istri yang sudah menikah sebelumnya tetapi belum melalui upacara adat Dangai.
¬ Dangai Umaa’ : adalah upacara atas kampung baru apa bila menempati wilayah baru setelah pindah dari kampung yang lama.
c. Upacara Adat Kayo
Adat Kayo adalah upacara adat pengucapan rasa syukur atas kemenangan atau keberhasilan mengatasi tantangan hidup. Adat Kayo ini hanya khusus bagi kaum laki-laki saja dan seluruh prosesnya dilaksanakan oleh laki-laki. Dengan maksud untuk mengangkat harkat seorang laki-laki menjadi seorang ksatria dalam kehidupan.
Dalam upacara adat ini dijalin komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan roh-roh kebaikan, dengan tanpa mengabaikan keberadaan roh-roh ganas.
d. Upacara Adat Hudo’
Hudo’ adalah upacara adat yang dilaksanakan pada musim tanam padi/musim menugal. Hudo’ dipercaya sebagai utusan Ine Aya’ Apo Lagaan (Ibu Para Dewa Apo Lagaan) untuk datang menolong manusia. Mereka datang dalam rupa hudo’ (berarti: kedok atau topeng) agar manusia tidak parit (kualat) dan mati jika menyaksikan secara langsung kemuliaan dan ke-dewa-an mereka. Dengan membawa roh-roh padi, roh pepohonan, roh buah-buahan, roh kebijaksanaan, dan dengan hudo’-nya mengusir segala roh jahat yang menindas dan merugikan manusia.
e. Upacara Adat Pate
Adat Pate adalah upacara adat kematian. Melalui upacara ini roh orang yang sudah meninggal diantarkan kepada para leluhur. Orang Bahau percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, dan berlangsung sama seperti di kehidupan fana. Hanya bedanya kehidupan baka itu abadi dan tidak berkesusahan.
f. Upacara-upacara adat lainnya.
Terdapat juga upacara-upacara lain seperti:
¬ Adat Abe
Adat Abe adalah upacara adat buang sial. Upacara ini dilaksanakan setiap tahun. Hal-hal yang dianggap membawa sial bagi banyak orang dihapus dan dibuang dengan upacara ini. Karena masyarakat Dayak khususnya Bahau mempercayai bahwa perbuatan-perbuatan aib dan terlarang dapat membawa sial dan malapetaka bagi seisi kampung, seperti misalnya: wanita hamil tanpa suami, terjadi perkawinan antar saudara yang masih memiliki hubungan darah/saudara dekat, perselingkuhan, dan sebagainya.
Segala keperluan dan biaya pelaksanaan upacara ini akan dibebankan kepada pelaku yang membuat upacara ini harus dilaksanakan.
¬ Adat Tutung
Upacara adat Tutung adalah adat buang busung. Upacara ini dilakukan apabila terjadi kejadian kematian seseorang yang tidak wajar seperti dibunuh, mengalami kecelakaan fatal, tenggelam, tersambar petir, perang, dan sebagainya. Tujuannya untuk membakar habis hal buruk tersebut hingga tidak terulang kembali.
¬ Adat Seluloong
Adat Seluloong adalah adat perdamaian. Upacara ini dilakukan jika terjadi pertikaian dan permusuhan atau bahkan peperangan. Kedua belah pihak akan dipertemukan dalam upacara adat ini dan dilakukan perjanjian damai.
5. Kepemimpinan Tradisional
Sebelum terbentuk membahas kepemimpinan tradisional, ada baiknya sedikit mengupas tentang klasifikasi sosial masyarakat adat Dayak Bahau.
Klasifikasi sosial dalam masyarakat Bahau membedakan kelas sosial, hak-hak, kewajiban, dan peranan dalam tatanan adat masyarakat. Strukturnya relatif sama dengan Dayak yang lain pada umumnya, yang berbeda hanya dari segi bahasa atau penyebutannya. Yaitu golongan hipui (raja), pegawaa’ (punggawa/panglima), panyin (rakyat), dan dipan (hamba/budak).
Golongan hipui adalah raja dan segenap keluarga dan keturunannya, yang mana menjadi pemimpin suku secara keseluruhan. Juga berperan sebagai pemimpin dalam tatanan adat di masyarakat.
Golongan pegawaa’ adalah para punggawa dan panglima perang dengan segenap keluarga dan keturunannya. Mereka inilah yang menjadi tangan kanan para hipui. Dan para pria dari golongan ini biasanya merupakan petarung yang tangguh dan pemimpin pasukan yang berani.
Golongan panyin adalah golongan rakyat biasa. Mereka biasanya terdiri dari peladang, pemburu, pandai besi, pengrajin, penenun, nelayan, pedagang, atau pengumpul hasil hutan.
Golongan dipan adalah golongan hamba atau budak. Mereka menempati kelas sosial paling bawah dan jumlahnya pun tidak banyak. Mereka menjadi hamba bagi hipui atau pegawaa’ dan tidak digaji. Biasanya mereka berasal dari suku yang kalah berperang dan ditawan. Tak jarang mereka adalah keturunan raja-raja yang berhasil dikalahkan yang kemudian ditawan dan dijadikan hamba atau budak.
DIPAN
.
PEGAWAA’
PANYIN
Dahulu, klasifikasi ini berlaku dengan tegas. Namun sekarang tidak begitu diperhatikan lagi, dan baru akan nampak pada saat berlangsungnya upacara-upacara adat; dan pada perkawinan.
Sekarang kepala kampung atau petinggi kampung tidak lagi harus dari golongan hipui tetapi melalui pemilihan umum secara demokratis. Tetapi kepala kampung ini hanya sebatas pemerintahan kampung yang bersifat birokratis. Sementara hukum tetap dipegang oleh hipui. Hipui secara kelembagaan menjabat sebagai kepala adat. Mengapa kepala adat harus dari golongan hipui adalah karena pemimpin dalam upacara adat harus golongan hipui.
6. Lembaga Adat
Lembaga Adat di kalangan Dayak Bahau lebih merupakan pelembagaan atau pengorganisasian tugas dalam kepemimpinan tradisional. Karena tugas yang diembannya tidak hanya terbatas pada pelaksanaan adat tradisi atau upacara adat tetapi juga melingkupi berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Lembaga Adat di setiap suku dan atau setiap kampung berdiri otonom dengan tidak terikat atau dibawah komando lembaga atau organisasi tertentu. Namun kendati demikian terdapat Lembaga Adat di tingkat kabupaten berbentuk Presidium Dewan Adat Kabupaten yang terdiri atas Ketua Presidium, Sekretaris, dan Staf-staf. Masa jabatannya selama 3 tahun.
Selain itu terdapat Lembaga Adat Besar yang juga bersifat lembaga presidium di mana lembaga ini berdiri otonom namun memiliki hubungan komunikasi dan koordinasi dengan Lembaga Adat Kampung dan Presidium Dewan Adat Kabupaten. Secara organisasi terdiri dari Kepala Adat Besar, Sekretaris, dan 3 orang staff.
Kepala Adat Kampung
Anggota
Anggota
Anggota
Sekretaris
Kepala Adat Besar
Anggota
Anggota
Anggota
Sekretaris
Ketua Presidium Dewan Adat Kabupaten
Staf
Staf
Staf
Sekretaris
Pemerintah daerah kabupaten memberikan perhatian yang cukup baik terhadap keberadaan lembaga-lembaga ini. Oleh sebab itu sudah sejak lama pemerintah memberikan tunjangan kepada siapa pun yang menjabat jabatan-jabatan tersebut di atas.
7. Hukum Adat
Hukum adat yang berlaku dalam masyarakat adat Dayak Bahau tetap berpegang pada hukum adat warisan leluhur. Dan hukum ini diwariskan secara turun temurun secara lisan dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Hukum adat ini antara lain mengatur masalah kriminal dan instabilitas di masyarakat, masalah perkawinan, masalah warisan, tanah/lahan, harta, wilayah, ekonomi, dan religi. Maka jenis atau bentuk hukum yang diberlakukan sesuai dengan kasus yang sedang dihadapi.
8. Hak Ulayat.
Permasalahan hak ulayat di kalangan masyarakat adat Dayak Bahau sebenarnya belum ada kesepahaman sampai sekarang. Demikian juga halnya dengan pemerintah, memiliki interpretasi berbeda dengan masyarakat. Ketidaksepahaman ini dapat dipahami karena istilah hak ulayat bukan berasal dari Kalimantan dan tidak pernah digunakan sebelumnya.
Masyarakat Dayak Bahau tidak pernah membuat pembagian yang mana merupakan hak ulayat dan yang mana hak negara, karena yang ada adalah hak masyarakat.
Jika yang dimaksud dengan hak ulayat adalah hak adat, maka hak ulayat bagi orang Bahau adalah semua hak yang dimiliki dan diwarisi sejak zaman para leluhur.
Dengan asumsi bahwa hak ulayat adalah hak adat, maka mari kita bahas sedikit tentang hak ulayat dalam pandangan Dayak Bahau.
Suku Dayak Bahau membuat aturan yang berlaku sebagai hukum adat berkaitan dengan lahan dengan membaginya menjadi 3 (tiga) yaitu:
a. Tanaa Peraa’
Tanaa’ Peraa’ adalah lahan hutan yang tidak boleh digarap untuk keperluan apa pun. Karena daerah ini adalah daerah simpanan kayu untuk kebutuhan rumah, perahu dan berbagai keperluan rumah tangga segenap masyarakat. Daerah ini juga menjadi kawasan sumber obat-obatan, daging, rotan, buah-buahan, untuk menunjang kesejahteraan hidup masyarakat sekitarnya.
b. Lep’un
Adalah kawasan perputaran ladang. Orang Bahau membuat ladang dengan sistem rotasi, yaitu membuka ladang pada suatu kawasan kemudian berpindah ke kawasan lain dan membiarkan lahan yang lama ”memulihkan diri kembali”. Lalu beberapa tahun kemudian kembali lagi ke lahan semula. Demikian terus berlangsung pada tempat-tempat yang sama, tetapi tetap memberikan kesempatan bagi alam untuk memulihkan dirinya sendiri.
c. Wilayah kampung
Wilayah kampung adalah wilayah kekuasaan yang dimiliki suatu suku yang menempati wilayah tertentu. Berbeda dengan wilayah yang ditetapkan pemerintah di mana wilayah kampung adalah wilayah rencana pengembangan kampung yang melingkupi daerah sekitar kampung saja. Wilayah kampung bagi orang Bahau adalah segenap wilayah yang dimiliki seluruh isi kampung di mana termasuk wilayah tanaa’ peraa’ dan wilayah lep’un.
9. Penutup
Demikianlah uraian singkat berkaitan dengan Komunitas Adat, Hukum Adat, dan Hak Ulayat dari sudut pandang Suku Dayak Bahau. Saya mengharapkan uraian singkat ini dapat memancing rasa ingin tahu kita semua untuk dapat tertuang dalam diskusi yang hidup, baik di tempat ini mau pun dalam setiap kesempatan yang ada. Manusia ada lemahnya
Mohon maaf bila salah kata
Janganlah dipendam rasa
Kita semua bersaudara.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
CURRICULUM VITAE
NAMA : B. Blawing Belareq
TEMPAT/TGL LAHIR : Kampung Long Tuyoq, 25 September 1944
ALAMAT : Jl. Siti Aisyah No. 70 RT. 16 RW. 07 Kel. Teluk Lerong Ilir, Samarinda. Kalimantan Timur
NO TELP/FAX/HP/E-MAIL : R (0541) 738674 / - / 085250689311/ liah_terasbnd@yahoo.co.id
PENDIDIKAN TERAKHIR : SR IV Th. Tahun 1956
PEKERJAAN : Wiraswasta
PENGALAMAN : Di Bidang Adat Suku Dayak Bahau (Kayaan):
- Kepala Kampung Long Tuyoq tahun 1976 s/d 1999
- Kepala Adat Besar Kecamatan Long Pahangai tahun 1991 sampai sekarang
Jumat, 03 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar